Abad 8 sampai dengan ke-13 merupakan zaman keemasan
Islam ((The Golden Ages of Islam). Setelah itu, masa keemasan Islam terporak
porandakan. Hal itu dikarenakan krisis politik dan ekonomi di pusat-pusat
kekuasaan Islam yang menghentikan tradisi keilmuan. Penguasa lebih fokus pada
pemikiran fikih untuk mengontrol perilaku rakyatnya. Sedangkan para Ulama
memilih mempelajari tasawuf untuk mendapatkan ketenangan hidup. Peristiwa
Perang Salib membantu menghancurkan bangunan peradaban. Tradisi ilmiah beralih
ke suasana perang.
Diperlukan Elemen-elemen fundamental dalam
merekontruksi peradaban untuk mendulang keemasan Islam. Komaruddin Hidayat,
mengutip Mozaffari, ahli politik kelahiran Iran dan merupakan pegajar di
Universitas Aarhus Denmark, mengemukakan elemen-elemen tersebut adalah:
1. Unsur-unsur
masa lalu yang bersifat abadi dan kita dapat melacaknya kembali ke masa awal
Islam dan ajaran dasarnya.
a.
Semangat tauhid, sikap
pengabdian total kepada Allah Sang Pencipta. Kesadaran ini, jika ditafsirkan
dengan baik, menjadi sumber energi abadi.
b.
Nilai kemanusiaan
universal. Pesan universalisme Islam harus lantang. Inilah nilai yang membuat
Islam dapat diterima oleh banyak kalangan karena bersifat inklusif dan
menghargai harkat dan martabat manusia tanpa memandang latar belakang agama,
suku dan budaya. Sejak awal abad, Islam menyebar melintasi batas-batas etnis
dan wilayah, mendorong munculnya peradaban-peradaban baru di luar tradisi Arab.
c.
Eklektisisme dalam
implementasi ajaran Islam. Islam mengajarkan umat Islam untuk terbuka pada
hal-hal yang baik. Tentu saja, ini tidak berarti membuka pintu bagi sinkretisme
aqidah, tetapi umat Islam menghargai peradaban baru yang mereka jumpai di
mana-mana. Dalam konteks ini, terjadi proses dialektis-kreatif antara
“Islamisasi nilai-nilai pribumi” dan “Indigenisasi nilai-nilai Islam”. Dengan
kata lain, ada kontekstualisasi ajaran Islam. Dengan demikian, kehadiran Islam
dipahami sebagai bagian dari solusi atas permasalahan kemanusiaan.
2. Elemen
kontekstual
Dalam
situasi saat ini, seorang muslim tidak boleh terjebak dengan pendekatan reaktif
seperti memadamkan api. Untuk melakukan ini, ada beberapa tujuan yang harus
dipertimbangkan dengan cermat.
a.
Muslim harus merencanakan
masa depan kolektif yang beragam. Keseragaman adalah utopia yang mengarah ke
distopia. Agama dan budaya selalu dalam pluralitas. Keragaman bentuk ekspresi
politik, budaya dan sektarian juga merupakan realitas di dunia Islam. Di sini
semangat koeksistensi harus dikembangkan dengan mendukung prinsip-prinsip dasar
Islam yang menekankan tauhid, kemanusiaan dan semangat membangun peradaban yang
mulia sebagai wujud rahmatan lil'alamin.
b.
Umat Islam juga harus
aktif mengikuti perkembangan terkini, termasuk pengelolaan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Revolusi senyap yang dipicu oleh berbagai teknologi modern seperti
artificial intelligence, big data, internet of things dan biologi modern, yang
melahirkan ilmu saraf, harus dikendalikan.
Mozaffari (1998), dalam bagian lain tulisannya,
mengemukakan bahwa yang harus diperangi secara kolektif adalah Islam yang
beradab berdampingan dengan peradaban dunia lainnya. Oleh karena itu, peradaban
Islam harus mampu berkembang secara konsisten dan memberikan kontribusi yang
signifikan bagi peradaban dunia.
No comments:
Post a Comment