CERPEN
Kenanga
Kenangan
Seperti pagi
biasa, mentari
mulai membentangkan sayapnya, menyirami sebagian kota dengan sinarnya yang
hangat sambil menerobos paksa masuk ke celah jendela yang terbuka di
ruang-ruang rumah, dan secara tidak sengaja telah membangunkan tidur sosok
perempuan paruh baya
yang sedang asik bersembunyi di balik selimut yang nyaman idamannya.
Awalnya, sapaan
mentari yang hangat itu hanya ia balas dengan wajah yang cemberut. Sambil
meronta tak mau membuka
mata, ia tarik selimutnya untuk menutupi kembali sebagian wajahnya yang sedari
tadi tersinari oleh hangatnya mentari. Namun, tidak lama kemudian ia buka
perlahan selimutnya yang tebal dan nyaman itu, ia tunjukkan penuh batang
hidungnya, sambil menghirup udara dalam-dalam, seakan ingin menyedot habis
aroma kopi yang tepat berada di atas
meja di samping ranjangnya.
“Selamat pagi
Yanti, Sayang...!”
Seperti orang
penasaran, mendengar suara tanpa tahu
wujudnya, maka tanpa suatu arahan pun kedua tangannya
serentak mengupas biji mata yang masih tertutup oleh kelopak indah yang syarat
dengan bulu mata lentik nan lebat. Setelah kedua biji matanya terlihat bulat
sempurna dengan warnanya yang hitam kuat, muncul lah belahan senyum akrab dari
lelaki yang telah menghalalkannya dengan janji di depan penghulu dan
beberapa saksi, kurang lebih lima bulan yang lalu.
“Mas Arman!” Sambil setengah tidak
percaya, ia mengucek kembali matanya dan menatap tajam sosok wajah tampan yang
ada di hadapannya, meyakinkan
otaknya bahwa lelaki itu adalah suaminya.
“Iya, Sayang. Ini
aku suamimu. Apa aku telah mengganggu tidurmu pagi ini?”
Tanpa bersuara
ia hanya menjawab suaminya dengan gelengan kepala yang diiringi senyuman manja
dari mulut mungilnya yang masih kering polos belum tersapu oleh lipstik merah
jingga kesukaannya.
“Ayo diminum
kopinya, keburu dingin loh!” Ucap
suaminya sambil mengulurkan tangan kanan meraih cangkir hangat berwarna putih
polos dengan gambar kapal layar, kemudian mendekatkannya ke istrinya. Tanpa
menunggu lama, cangkir itu langsung Yanti raih. Dia menyeruputnya pelan, sangat menikmati. Hemm…
“Maafkan Yanti ya
Mas. Hari
ini Yanti bangun kesiangan. Belum sempat bikin sarapan, malah bikin mas repot
buat nyiapin secangkir kopi.”
Tawar Yanti dengan wajah melas, seraya menego cinta pada suaminya.
“Ya, nggak
apa-apa, Sayang. Sesekali boleh kan
aku yang bangun lebih pagi?” Senyum Arman melebar seakan sengaja ingin
menunjukkan barisan giginya yang rapi.
Lagi-lagi Yanti
tidak menjawab pertanyaan suaminya dengan kata-kata, melainkan hanya senyuman
kecil tanda terimakasih atas kebaikan suaminya. Namun, ada yang ganjil dalam
benak Yanti. Saat ia melihat benda bulat yang berisikan tiga jarum yang saling
berputar, ia lihat jarum yang paling pendek belum menunjuk ke angka enam. Seketika
hatinya tersontak bertanya, sebenarnya saya yang kesiangan bangun atau mas
Arman yang terlalu pagi? Bingung!
Melihat raut
wajah kebingungan yang ada pada istrinya, Arman spontan nyengir kegirangan, bak orang yang berhasil
mengerjai temannya. Kemudian, setelah berhasil meraih kedua tangan istrinya,
Arman mencoba untuk menjelaskan semuanya.
“Yang, hari
ini aku akan pergi jauh. Maaf sebelumnya aku tidak memberi tahu kamu. Mungkin agak lama. Semua
bekal sudah aku siapkan kemarin. Baju-baju sudah aku packing (tata)
rapi, termasuk makanan yang akan aku makan nanti. Dan aku nggak mau kamu
repot-repot bikinkan sarapan, makanya sengaja aku bangun lebih pagi dengan
menghidangkan secangkir kopi.”
Yanti masih
belum paham penuh dengan apa yang dikatakan suaminya. Dan sebelum ia angkat
suara, Arman langsung memeluk erat istrinya seakan tak mau meninggalkan Yanti
sendiri. Selang beberapa menit ia akhiri pelukan hangatnya dengan kecupan sayang
di kening Yanti yang masih lusut, sarat dengan rambut yang tak sempat ia
kibaskan. Selesai ritual perpisahan, Arman langsung menuju jendela kamar yang
berada di lantai dua dari rumahnya. Sambil terus berjalan mundur, ia menatap
wajah istrinya dengan tatapan yang sejuk dan tenang. Perlahan keluar dari
jendela, melayang di udara. Tangan kanannya terus berayun seakan mengatakan
“sampai jumpa”. Kini, wujudnya telah menyatu dengan cahaya putih, senyum
manisnya tak lagi terlihat oleh kedua mata Yanti, dan ia telah benar-benar
pergi.
“MAS ARMAAAAANN…!”
..............
Bersambung..... #Baca Buletin Nuun Sastra Juz 3 (Akulturasi Sastra Qur'ani Ke Dalam Sastra Indonesia)
No comments:
Post a Comment