1992
Dalam catatan sejarah lisan, seorang ibuk mulai mengabdikan dirinya menebar ilmu pengetahuan diperkampungan kecil. Local Genius for act locally think globaly. Hal ini adalah bagian kecil dalam membangun peradaban umat manusia yang berpendidikan.
Sejatinya, mendidik dapat dan harus dilakukan semua orang. Namun, acapkali ini dijadikan alasan, saya tidak berpendidikan, saya tidak bisa memberi pengetahuan pada orang lain. Itu alasan .
Dengan gelar kehidupan, dan pengetahuan dari pengalaman, samapai 2016 ini ia terus mengabdikan dirnya tanpa pamrih, tanpa lelah dan aku menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Seringkali ketika ia sakit atau pun setelah seharian bekerja, ia tetap memaksakan dirinya untuk mengajar. Untuk keberlangsungan umat.
Dari anak-anak yang sekarang orang tua dan memunyai anak, lapis generasi sudah ia ajar dan saya kira ia akan tetap mengajar sampai ajal datang. Kekagumanku tak pernah habis.
Saya merasa dicambuk keadaan. Diusiaku yang cukup dini dengan penanaman belajar yang lebih dari ibuk itu, kadang aku lebih memilih melarikan diri. Enggan untuk mengajar. Aku merasa lelah. Manusia macam apa aku ini.
Semua orang ingin anaknya jadi pahlawan. Lantas penyakit malas itu ibarat virus yang meracuni otak dan menjalar melumpuhkan seluruh badan. Semisal aku mati, hal apa yang sudah aku lakukan untuk peradaban ini?
Jari jari ini masih menjadi saksi bisu, dari mulutku yang bisu untuk bercerita kepadamu. Niat sekuat apa yang harus aku tanamkan dalam hati agar aku mampu konsisten melakukan pendidikan?
Kita hanya perlu keinginan untuk menjadi pendidik, tambah bumbu istiqomah dalam keadaan apapun untuk terus mengajar, soal pengetahuan akan bertambah seiring pengalaman dan membaca keadaan secara terus menerus.
2016
Beliau mengajarkanku tentang kekuatan berbagi tanpa harus meminta. Tak ada sepeserpun rupiah yang ia minta dari orang tua siswa, ia hanya ingin orang tua siswa berpartisipasi dalam pendidikan -mengantarkan anak masing masing untuk belajar kerumahnya - dan terus menggandeng anaknya dalam belajar setiap saat.
Pembentukan ruang sosial ini adalah pembangun kehidupan yang hidup. Pendidikan untuk semua kalangan. Sejatinya, masyarakat Indonesia cukup tinggi dalam hal empati, mereka peduli untuk membangun, mereka sadar estapeta pendidikan unggul harus berlangsung dan setiap generasi harus mendapat pendidikan yang lebih baik.
Ibuk yang mengabdikan diri untuk pendidikan ini terletak di Kab. Pangandaran, Kec. Parigi, Ds. Cintakaraya, Dsn. Cikubang, dengan nama Engkan Nur Aini. Beliau hanya lulusan SD dipelosok Pangandaran. Semangatnya untuk belajar lah yang ia tukarkan pada anak anak sekarang ini.
Beliau tidak mengajari anak anak di sekolah formal, melainkan belia mengajar di sekolah non formal madrasah diniyah. Pendidikan spiritual adalah pendidikan jiwa yang harus dimiliki oleh setiap manusia. Begitulah prinsipnya. Yang ia ajarkan tidak muluk muluk dan tidak sehebat sarjana sarjana jebolan perguruan tinggi ternama. Ia hanya mengajarkan peserta didik mengaji Alif, Ba, Ta, Tsa, dst. Sampai Al Quran tingkat lanjut. Hebatnya, peserta didik yang ada dalam asuhannya kelas 2 Sd sudah haram quran. Kenapa hebat? Jika dibandingkan dengan anak 10 tahun yang sudah hafal quran memang tidak apa apanya, tapi ditengah tengah ketidak pedulian masyarakat akan pendidikan spiritual dan keengganan generasi sekarang untuk mengaji, maka itu adalah suatu hal yang hebat. Tekad untuk mengabdikan diri selama berpuluh puluh tahun adalah konsistensi yang jarang ditemukan, tentu tanpa pamrih. Disinilah ibuk pertiwi ada, ada untuk generasi.
No comments:
Post a Comment