Berdasarkan data yang diperoleh dari badan pusat statistika
(https://www.bps.go.id/) jumlah proyeksi penduduk
Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 238518.80 ribu jiwa dan pada tahun 2018
sebanyak 265015.30 ribu jiwa. Berdasar data
di atas maka jumlah penduduk indonesia semakin mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Tingginya angka kelahiran di Indonesia ini tentu adalah bentuk
optimisme bahwa bangsa Indonesia ini melimpah dalam sumber daya manusia.
Indonesia negara kaya nansejahtera. Terdapat 16.056 pulau, 652 bahasa daerah, 34 provinsi, 514 kabupaten kota, dan
semuanya disatukan dalam satu tanah air, satu bahasa, satu bangsa yaitu
Indonesia. sebagaimana kita ketahui bahwa semoboyan negara ini adalah bhineka
tunggal ika “berbeda-beda tapi tetap satu jua”. Tentu semboyan bhineka tunggal
ika bukan hanya semboyan, ia lebih seperti ruh bangsa Indonesia. Mencermati
sila ke-3 dari Pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia” tentu kita paham
betul, nilai-nilai persatuan dan kesatuan menjadi sangat penting untuk dipegang
dan diimplementasikan oleh warga Indonesia. Demikian, toleransi dab saling
menghormati, menghargai serta saling memuliakan adalah tanggungjawab elemen
bangsa ini.
Mengutip kakawih sutasoma pupuh 139 bati 5 “Rwaneka
dhatu winurus Budha wiswa, Bhineka rikwa ring apan kena parwanosen, Mangkang jinatwa
kalawan siwatawa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” jika
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang
berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa
dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal.
Terpecah belahlah
itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran”. Dari
falsafah itu lah lahir kata Bhineka Tunggal Ika, dan kita mengatahui dengan makna
Berbeda-beda tetapi tetap satu[1].
Indonesia
adalah negara multikultur, multibudaya. Mengapa? Disebut multikultur karena
masyarakatnya terdiri dari berbagai budaya. Realitas budaya dari berbagai
budaya saling bertemu satu sama lain, berinteraksi, bersampingan, saling
toleransi, saling menghormati, dan mereka saling mengakui keberadaan perbedaan serta
persamaan diantara mereka[2]. Selain itu,
agama yang diakui negara Indonesia pun lebih dari satu; Islam, Kristen; Protestan
dan Katolik, Budha serta Khonghucu. Perbedaan agama di Indonesia bukanlah
sebuah alasan bagi warganya untuk bertengkar satu sama lain, mereka hidup
berdampingan.
Dalam
jurnal Novie Angraeni[3] mengutip dari
Nurgiyantoro dan Thobroni, terdapat tujuh nilai sikap multikultralisme:
- Solidaritas dan Persaudaraan
- Kesetaraan Gender
- Nilai kekeluargaan
- Penghormatan terhadap tata susila
- Merasa cukup dalam hidup
- Perdagangan terbuka
- Berbagi dan kontrol kekuasaan Mari kita bahas satu persatu:
- Solidaritas dan Persaudaraan
Secara prinsipil solidaritas adalah kesanggupan
berjuang untuk semua orang. Praktinya, solidaritas kasih sayang yang
menggerakan seluruh elemen tubuh dan kepribadian manusia. Maka tujuannya berbagai
kehidupan bagi sesama dan saling menolong untuk memperoleh kebebasan, keadalan
dan hak martabatnya[4].
Persaudaraan adalah pertalian persahabatan yang serupa dengan pertalian saudara. Nyaris tidak ada skat, seperti halnya hubungan sedarah. Hal ini karena ikatan kasih sayang dengan segala konsekwensinya; berkorban harta dan jiwa. Jika demikian, satu sama lain harus saling memahami, menyayangi, memaafkan, ikhlas, setia, bahu membahu meringankan beban, saling mengingatkan untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Ikatan hal ini ibarat buah dari sebuah tanaman. Firman Allah S. W. T. Q. S. Al Anfal:1 yang isinya “Maka bertakwalah kalian kepada Allah S. W. T. dan damaikanlah orang-orang yang berselisih diantaran kalian.
2. Kesetaraan Gender
Membaca firman Allah S. T. W. Q. S. Hudd:
118-119 “Jikalah Tuhanmu menghendaki, tentu ia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang
diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat
Tuhanmu (keputusanNya) telah ditetapkan.
Laki-laki maupun perempuan sama saja
dihadapan Tuhan, yang membedaka hanyalah ketakwaan. Maka tidak ada istilah
laki-laki harus di depan dan perempuan harus di belakang. Tidak ada perempuan
hanya boleh mencuci piring sedang laki-laki tidak. Stigma itu lahir karena
kultural. Pada dasarnya, dalam kehidupan berkeluarga maupun bersosial,
laki-laki maupun perempuan meski saling memahami dan berbagi peran berdasarkan
kesepakatan. Selebihnya adalah kebaikan individu menuju kebaikan kolektif yang
didasarkan pada penerimaan ikhlas.
3. Nilai Kekeluargaan
Satu tujuan, layaknya sebuah keluarga. Dalam
bermasyarakan yang heterogen ini, perbedaan karakter dan cara pandang tentu hal
yang biasa. Misalkan mengenai perpolitikan, si A milih B dan si B milih A, ini
adalah hal yang lumrah. Belum lagi masalah perekonomi yang sangat sensitif
karena berhubungan dengan isi perut setiap orang, dalam konteks ini orang bisa
saling bunuh satu sama lainna.
Negosiasi dan kesadaran untuk hidup
berdampingan serta berusaha untuk hidup sejahtera bersama merupakan kata kunci
masyarakat multikultural. Tidak akan ada miskin terlalu dan kaya terlalu,
setiap orang bahu-membahu mengulurkan tangan, saling melindungi dan menyayangi.
Layaknya sebuah keluarga.
4. Penghormatan Terhadap Tata Susila
Makhluk sosial tentu hidup berdampingan. Tidak
bisa hidup sendiri dan mengunggulkan individualisme. Dalam matrikulasi sosial,
tentu berlaku norma-norma yang menetukan baik buruknya sebuah keadaan sosial. Norma-norma
itu yang menjadi panduan hidup makhluk sosial, apakah secara undang-undang
tersurat atau bahkan tersirat. Hukum tatanegara dan hukum budaya tentu menjadi
hal beda dan tidak untuk diperbedakan. Ini adalah kekayaan suatu bangsa yang
multikultur. Kepastian hukum ditetapkan atas dasar mupakat bersama, untuk
mengatur ruang etik setiap individu.
Susila adalah tingkah laku yang menjadi
pedoman baik dalam hidup. Demikian kesusilaan adalah keadaan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat tanpa, orang lain, tanpa melukai perasaan orang lain.
5. Merasa cukup dalam hidup
Hak akan konstitusional, keadilan,
identitas, semua itu merupakan syarat bagi warga negara untuk mendapatkan
kenyamanan bagi dirinya. Demikian semua itu harus ditambah dengan pandangan identitas
nasional yang plural.
Konflik terjadi akibat ketidakpuasan dalam
diri. Sejatinya, sifat dasar manusia adalah makhluk yang rakus. Namun, hati dan
pikiran dapat dijadikan kontrol untuk mengendalikan perut agar tidak lapar
hingga mencuri hak orang lain. Kunci dari itu adalah merasa cukup dalam hidup,
nrimo ing pandum. Disini, bukan berati pasrah pada suatu keadaan terpuruk, tapi
jika orang-orang legowo dan terus bergerak bersama dengan saling menjaga
dinamika demi ekosistem hidup, maka konflik adalah sebuah motifasi untuk
menjadikan hidup ini lebih baik dengan cara saling memuliakan, membesarkan dan
mensejahterakan.
6. Pandangan Terbuka
Pemikiran yang dangkal, rasis, egois dan
inklusif merupakan sumber dari perang antar saudara, antar negara. Apalah artinya
perang, menang pun babak belur, kalahpun hancur. Sisanya hanya puing-puing
kenangan yang pedih untuk diingat.
Egosektoral muncul, saling menjelekan
budaya, agama dan ras. Pemikiran yang mandeg dan cenderung susah move on merupakan
ciri dari pemikiran yang tertutup. Ia tidak menginterpretasi suatu jaman dan
perubahan waktu. Diberlakukannya MEA (Mayarakat Ekonomi Asean) sama dengan
membuka pintu keharusan untuk menjadi masyarakat yang multikultur bukan hanya
satu bangsa, tapi ke negara-negara. Kreatifitas dan cara pandang multikultur
lah yang akan menyelamatkan bangsa ini dari ketertinggalan ekonomi, teknologi,
dan pembangunan sumber daya manusia serta infrastruktur.
7. Berbagi dan Kontrol Kekuasaan.
“Tidak ada jabatan yang peru dipertahankan
mati-matian” ungkap Gus Dur. Dalam sistem demokrasi, kita telah mengetahui “Dari
rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Ini merupakan kata kunci bahwa kekuasaan
tertinggi adalah rakyat, lantas kita titipkan suara kita pada wakil rakyat yang
kita sebut sebagai pemimpin rakyat. Tapi bukan berarti kita hanya berdiam diri
atas kebijakan-kebijakan yang tidak pro rakyat. Karna oleh rakyat, maka setiap
warga negara harus menjadi pengontrol sekaligus pelaksana pancasila, undang-undang
yang mengatur pola hidup bernegara.
Puncak dari kekuasaan adalah “keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tidak peduli suku, ras dan agama, sebagai warga
negara Indonesia, kita meski bersatu. Lakukan dengan hal paling mudah, berbagi
senyuman.
Tujuah bagian di atas menjadi bagian fundamental bagi warga
negara Indonesia untuk melestarikan kemerdekaan Indonesia dan perdamaian abadi
bagi warga dunia.
SMK Bakti Karya Parigi; Program Kelas Multikultural |
No comments:
Post a Comment