1-IRPAN-ILMI

Klik Info Ini...!

Full width home advertisement

irpan-ilmii

My Journey

Rise Your Hand

Post Page Advertisement [Top]

irpan-ilmii

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah

            Kemunculan dan perkembangan Islam tentu membawa ke arah perubahan, juga tak lepas dari peran para tokoh Islam. Namun, bersamaan dengan perputaran dunia, modernisasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dari hari ke hari yang semakin berkembang, malah akhir-akhir ini membuat banyak generasi muda tidak mengenal para tokoh Islam yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan dunia pendidikan tersebut, salah satunya Al Ghazali.

            Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh Muslim yang pemikirannya sangat luas dan mendalam dalam berbagai hal diantaranya dalam masalah pendidikan. Pada hakikatnya usaha pendidikan menurut Al-Ghazali adalah dengan mengutamakan beberapa hal yang diwujudkan secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan yang dikembangkannya berawal dari kandungan ajaran dan tradisi Islam yang menjunjung berprinsip pendidikan manusia seutuhnya.

            Maka dalam makalah ini, akan dibahas mengenai siapa sesungguhnya Al-Ghazali dan bagaimana konsep pendidikan menurutnya baik itu kurikulum, metode maupun evaluasi pendidikan.

B.    Rumusan Masalah

            Berdasarkan latar belakang tersebut, muncul rumusan masalah sebagai berikut:

1.     Siapakah Imam Al-Ghazali?

2.     Apa yang dimaksud pendidikan menurut pandangan Imam Al-Ghazali?

3.     Bagaimanakah tujuan pendidikan menurut Imam Al-Ghazali?

4.     Metode atau kurikulum apa saja yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali dalam proses pendidikan?

5.     Apa saja aspek-aspek pendidikan menurut pandangan Imam Al-Ghazali?

6.     Bagaimana cara mengetahui sejauh mana pendidikan itu berjalan?

C.   Tujuan

            Adapun tujuan dari pembuatan makalah/tugas ini antara lain:

1.     Mengetahui latar belakang Imam Al-Ghazali

2.     Mengetahui pengertian pendidikan menurut Imam Al-Ghazali

3.     Mengetahui tujuan pendidikan

4.     Mengetahui metode dan kurikulum yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali

5.     Mengetahui aspek penting pendidikan

6.     Mengetahui evaluasi pendidikan

D.   Manfaat

Penulisan makalah diharapkan bermanfaat :

1.     Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang pendikan menurut Imam Al-Ghazali.

2.     Sebagai literatur bagi para pembaca khususnya mahasiswa jurusan Manajemen Pendidikan Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali

            Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhamad bin Ahmad Al-Ghazali. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua z), artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah Al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya.

Al-Ghazali lahir pada tahun 450H/1058M didesa Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “hiasan agama” (Zainuddin), “samudra yang menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain. Al-Ghazali memiliki keahlian berbagai disiplin ilmu, baik sebagai filosuf, sufi, maupun pendidik. Ia menyusun beberapa kitab dalam rangka menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama. Pada dasarnya, buku-buku yang dikarangya, merupakan upayanya untuk membersihkan hati umat Islam dari kesesatan, sekaligus pembelaan terhadap serangan-serangan pihak luar, baik Islam maupun Barat (Orientalis). Karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembinaan pembelaaan terhadap serangan-serangan demikian, maka ia diberi gelar Hujjat al-islam.

Sejak kecil, Al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan. Karenannya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru dikota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad Ibn Muhammad Al-Radzikani. Selain itu ia tidak segan-segan belajar dengan guru-guru didaerah lain yang jauh dari kampung halamannya. Untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya, ia kemudian hijrah ke Naisabur dan belajar dengan Imam al-Juwaini.

Masa mudanya bertepatan dengan bermunculan para cendekiawan, baik dari kalangan bawah, menengah, sampai elit. Kehidupan saat itu menunjukan kemakmuran tanah airnya, keadilan para pemimpinnya, dan kebenaran para ulamanya. Dunia tampak tegas disana, sarana kehidupan mudah didapatkan, masalah pendidikan sangat diperhatikan, pendidikan dan biaya hidup para penunutut ilmu ditanggung oleh pemerintah dan pemuka masyarakat. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh al-Ghazali untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya. Mulu-mula ia belajar agama, sebagai pendidikan dasar, kepada seorang ustad setempat, Ahmad bin Muhammad Radzkafi. Kemudian Al-Ghazali pergi ke Jurjan dan menjadi santri Abu Nashr Ismaili.

Setelah menamatkan studi di Thus dan Jurjan, al-Ghazali melanjutkan dan meningkatkan pendidikannya di Naisabur dan ia bermukim disana. Tidak berapa lama mulailah mengaji kepada al-Juwaini, kepadanya al-Ghazali belajar Ilmu Kalam, Ilmu Ushul, Madzhab Fiqih, retorika, logika, tasawuf dan filsafat. Al-Juwaini kemungkinan dipandang oleh al-Ghazali sebagai syaikh yang paling alim di naisabur saat itu, sehingga kewafatannya menyebabkan kesedihan yang mendalam baginya. Tetapi akhirnya peristiwa itu mengharuskannya melangkah lebih jauh, ditinggalkanlah Naisabur menuju Mu’askar, suatu tempat atau lapangan luas yang disana didirikan barak-barak militer Nidhamul Muluuk, perdana menteri saljuk. Tempat itu sering digunakan untuk berkumpul para ulama ternama. Karena sebelumnya keunggulan dan keagungan nama al-Ghazali telah dikenal oleh perdana menteri, kehadiran al-Ghazali diterima dengan penuh kehormatan. Dan ternyata benar, setelah beberapa kali al-Ghazali berdebat dengan para ulama disana, mereka tidak segan-segan mengakui keunggulan ilmu al-Ghazali karena berkali-kali argumentasinya tidak dapat dipatahkan. Sejak saat itulah al-Ghazali namanya tersohor dimana-mana.

Pada tahun 1901 M/ 484 H, al-Ghazali diangkat menjadi dosen pada Universitas Nidhamiyah, Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usia 34 tahun Al Ghazali diangkat menjadi pimpinan (rektor) universitas tersebut. Selama menjadi rektor, Al Ghazali banyak menulis buku yang meliputi beberapa bidang, seperti fikih, ilmu kalam, dan buku-buku sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah, dan filsafat. Karir Al Ghazali semakin meningkat tetapi Al Ghazali juga mengalami krisis kebatinan sehingga ia memutuskan untuk menghabiskan sisa umurnya untuk membaca Al-Quran dan hadis serta mengajar. Disamping rumahnya, didirikan madrasah untuk para santri yang mengaji dan sebagai tempat berkhalwat bagi para sufi. Pada hari senin, tanggal 14 Jumadatsaniyah tahun 505 H/ 1 Desember 1111 M, Al-Ghazali pulang kehadirat Allah dalam usia 55 tahun, dan dimakamkan di sebelah tempat khalwat (Khanaqah)-nya.[1]

B.    Pengertian Pendidikan Menurut Imam Al-Ghazali

Menurut Al Ghazali, pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berupaya dalam pembentukan insan paripurna, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Ghazali pula manusia dapat mencapai kesempurnaan apabila mau berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan fadhilah melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Fadhilah ini selanjutnya dapat membawanya untuk dekat kepada Allah dan akhirnya membahagiakannya hidup di dunia dan akhirat[2].

Bagi Al Ghazali, ilmu adalah medium untuk taqarrub kepada Allah, dimana tak ada satu pun manusia bisa sampai kepada-Nya tanpa ilmu. Tingkat termulia bagiseorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi. Di antara wujud yang paling utamaadalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan, tetapi kebahagiaan itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal, dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai. Dengan demikian, modal kebahagiaan di dunia dan akhirat itu, tak lain adalah ilmu. Maka dari itu, dapat disebut ilmu adalah amal yang utama.[3]

Proses pendidikan pada intinya merupakan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (murid) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam konteks umum tujuan pendidikan tersebut antara lain mentrasmisikan pengalaman dari generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan menekankan pengalaman dari seluruh masyarakat, bukan hanya pengalaman pribadi perorangan. Definisi ini sejalan dengan pendapat Jhon Dewey yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman hidup, dan juga pembahasan pengalaman hidup sendiri. Sedangkan dalam konteks Islam pendidikan dapat diartikan sebagai proses persiapan generasi muda untuk generasi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia danmemetik hasilnya di akhirat[4].

Jadi pendidikan Islam menurut Al Ghazali merupakan pendidikan yang ingin menjadikan manusia menjadi insan yang paripura yang nantinya akan mencapai hidup bahagia di dunia dan akhirat dengan bertaqarrub kepada Allah melalui ilmu yang sudah dia dapatkan lewat proses pendidikan.

 

C.   Tujuan Pendidikan Menurut Pandagan Imam Al-Ghazali

            Al Ghazali menekankan tugas pendidikan adalah mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana fadhilah (keutamaan) dan taqarrub kepada Allah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan.[5] Menurut Al Ghazali, tujuan pendidikan yaitu pembentukan insan paripurna, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Imam Al Ghazali pula manusia dapat mencapai kesempurnaan apabila mau berusaha mencari ilmu dan selanjutnya mengamalkan fadilah melalui ilmu pengetahuan yang dipelajarinya. Fadhilah ini selanjutnya dapat membawanya untuk dekat kepada Allah dan akhirnya membahagiakannya hidup di dunia dan di akhirat[6]. Menurut Al Ghazali tujuan utama pendidikan Islam itu adalah ber-taqarrub kepada Allah Sang Khaliq, dan manusia yang paling sempurna dalam pandangannya adalah manusia yang selalu mendekatkan diri kepada Allah[7].

            Untuk mencapai tujuan dari sistem pendidikan apapun, dua faktor asasi berikut ini mutlak adanya: Pertama, aspek- aspek ilmu pengetahuan yang harus dibekalkan kepada murid atau dengan makna lain ialah kurikulum pelajaran yang harus dicapai oleh murid. Kedua, metode yang telah digunakan untuk menyampaikan ilmu- ilmu atau materi-materi kurikulum kepada murid, sehingga ia benar-benar menaruh perhatiannya kepada kurikulum dan dapat menyerap faidahnya. Dengan ini, murid akan sampai kepada tujuan pendidikan dan pengajaran yang dicarinya[8].

            Al Ghazali menerangkan bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua: Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. Kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. Tujuan itu tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi[9].

D.   Metode dan Kurikulum Pendidikan Menurut Pandangan Imam Al-Ghazali

1.     Metode Pendidikan

            Dalam rangka mewujudkan konsep pendidikannya, Al Ghazali menggunakan metode pengajaran yang menggunakan keteladanan, pembinaan budi pekerti, dan penanaman sifatsifat keutamaan pada diri muridnya. Hal ini sejalan dengan prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid[10]. Pendidikan agama dan akhlak merupakan sasaran Al Ghazali yang paling penting. Dia memberikan metode yang benar untuk pendidikan agama, pembentukan akhlak dan pensucian jiwa. Dia berharap dapat membentuk individu-individu yang mulia dan bertaqwa, selanjutnya dapat menyebarkan keutamaan-keutamaan kepada seluruh umat manusia[11].

            Dalam uraiannya yang lain, Al Ghazali menjelaskan bahwa metode pendidikan yang harus dipergunakan oleh para pendidik/pengajar adalah yang berprinsip pada child centeredatau yang lebih mementingkan anak didik daripada pendidik sendiri. Metode demikian dapat diwujudkan dalam berbagai macam metode antara lain: 1) Metode contoh teladan 2) Metode guidance and counsellling (bimbingan dan penyuluhan) 3) Mtode cerita 4) Metode motivasi 5) Metode reinforcement (mendorong semangat)[12]

2.     Kurikulum Pendidikan

            Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Al Ghazali agaknya menginginkan bahwa umat Islam memiliki gambaran yang makro, dan utuh tentang agama, yang diyakininya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan landasan yang dipahami dengan sungguh-sungguh yang pada kenyataannya kemudian menjadi cara berpikir yang penting dalam memberikan kerangka bangunan ilmu pengetahuan[13].

            Dalam membuat sebuah kurikulum pendidikan, Al Ghazali memiliki dua kecenderungan sebagai berikut: Pertama, kecenderungan terhadap agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya dan memandangnya sebagai alat untuk menyucikan dan membersihkan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Kecenderungan ini membuat Al Ghazali lebih mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu ini berkaitan erat dengan ilmu agama. Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulis Al Ghazali. Dia menjelaskan bahwa ilmu yang tidak bermanfaat bagi manusia merupakan ilmu yang tak bernilai. Bagi Al Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliyah. Dan setiap amaliah yang disertai ilmu harus pula disertai dengan kesungguhan dan niat yang tulus ikhlas.[14]

 

E.    Aspek-Aspek Pendidikan Menurut Pandangan Imam Al-Ghazali

1.     Pendidikan Keimanan

            Pendidikan Keimanan Bagi Anak-anak (Anak Didik) Al Ghazali menganjurkan tentang asas pendidikan keimanan ini agar diberikan kepada anak-anak sejak dini supaya dia bisa menghafal, memahami, beriktiqat, mempercayai, kemudian membenarkan sehingga keimanan pada anak hadir secara sedikit demi sedikit hingga sempurna, kokoh dan menjadi fundamen dalam berbagai aspek kehidupannya dan bisa mempengaruhi segala perilakunya mulai dari pola pikir, pola sikap, pola bertindak, dan pandangan hidupnya.[15]

            Al Ghazali mengatakan,” Apabila Akidah sudah tumbuh dalam jiwa seorang mukmin, maka tertanamlah dalam jiwanya rasa bahwa hanya Allah sajalah yang paling berkuasa, segala maujud yang ada ini hanya makhluk belaka”.[16]

            Al Ghazali menganjurkan agar dalam mendidik dan meningkatkan keimanan anak menggunakan cara yang halus dan lemah lembut, bukan dengan paksaan ataupun dengan berdebat, sehingga dengan mudah dan senang akan diterima anak.

2.     Pendidikan Akhlak

            Menurut Imam Al Ghazali, akhlak merupakan tabiat manusia yang dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu: Pertama, tabiat-tabiat fitrah, kekuatan tabiat pada asal kesatuan tubuh danmemiliki kelanjutan selama hidup. Sebagian tabiat itu lebih kuat dan lebih lama dibandingkan dengan tabiat lainnya. Seperti tabiat syahwat yang ada pada diri manusia. Kedua, akhlak yang muncul dari suatu perangai yang banyak diamalkan dan ditaati, menjadi bagian dari adat kebiasaan yang berakar pada dirinya. Akhlak menurut pengertian Islam adalah salah satu hasil dari iman dan ibadat. Hal ini disebabkan, karena iman dan ibadat manusia tidak sempurna kecuali kalau dari situ muncul akhlak yang mulia[17].  Al Ghazali menerangkan bahwa berakhlak baik atau berakhlak terpuji itu artinya menghilangkan semua adat-adat kebiasaan yang tercela yang sudah dirincikan oleh agama Islam serta menjauhkan diri dari padanya, sebagimana menjauhkan diri dari najis dan kotoran, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, menggemarinya, melakukannya dan membiasakannya[18].

            Baik buruknya akhlak seseorang dapat berpengaruh pada kesehatan jiwanya. Jika seseorang ingin jiwanya baik dan sehat, maka dia harus menghiasi dirinya dengan akhlak dan budi pekerti yang baik. Begitu juga sebaliknya, orang yang terbiasa dengan budi pekerti dan akhlak yang buruk, maka ia akan memiliki jiwa yang buruk dan tidak sehat pula. Dan budi pekerti dan akhlak yang baik itu dapat diusahakan dengan jalan latihan dan pembiasaan.

3.     Pendidikan Akliah

            Fungsi akal manusia adalah penahan nafsu. Dengan akal manusia dapat mengerti apa yang tidak dikehendaki oleh amanat yang dibebankan kepadanya sebagai sebuah kewajban. Akal adalah pengertian dan pemikiran yang berubah-ubah dalammenghadapi sesuatu baik yang tampak jelas maupun yang tidak jelas. Akal adalah petunjuk yang dapat membedakan hidayah dan kesesatan. Akal adalah kesadaran batin dan pengaturan tingkah laku. Akal adalah pandangan batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata. Akal adalah daya ingat mengambil dari yang telah lampau untuk masa yang sedang dihadapi.[19]

            Pendidikan akal bertujuan untuk memperbesar perbuatan tenaga akal dan membentuk kecakapan akal menjalankan tugasnya. Cakap berarti dalam waktu singkat dapat menjelaskan tugas dengan jitu. Dalam kata jitu itu terkandung pengertian benar, tepat dan sempurna. Oleh karena tugas akal itu adalah mengenali dan menyelami seluk beluk sesuatu dalam rangka memecahkan suatu problem, maka tujuan pendidikan akal itu adalah memperbesar kekuatan tenaga akal dan membentuk kecakapan akal mengenai dan menyelami seluk beluk sesuatu problem yang bertalian dengan Tuhan, manusia atau masyarakat dan alam, sehingga dapat mencapai keyakinan yang pasti. Titik ujung dari kerja akal adalah terlahirnya suatu keyakinan yang pasti (haqul yakin), suatu keyakinan yang di dalamnya tidak lagi terselip unsur-unsur ragu-ragu dan unsur sesat (salah) atau keliru.[20] Tinggi fungsi berpikir yang digambarkan oleh Al Ghazali, menjadikan akal pikiran tidak akan menjadi cerdas dan berguna, selama akal pikiran manusia tidak diperkenalkan, dipergunakan dan bahkan ditantang dengan berbagai macam ilmu pengetahuan.

4.     Pendidikan Sosial

            Seorang manusia adalah makhluk individual dan secara bersamaan adalah makhluk sosial. Keserasian antar individu dan masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial dan tujuan individu. Dalam Islam tanggung jawab tidak terbatas pada perorangan, tapi juga sosial sekaligus. Tanggung jawab perorangan pada pribadi merupakan asas, tapi pada saat bersamaan ia tidak mengabaikan tanggung jawab sosial yang merupakan dasar pembentuk masyarakat.[21]

            Sesungguhnya berkasih sayang di jalan Allah SWT dan persaudaraan di jalan agama-Nya adalah merupakan jalan untuk taqarrub yang paling utama kepada-Nya dan sekaligus merupakan jalan yang paling halus yang bisa diambil faidah dari segala ketaatan pada segala adat kebiasaan yang berlaku. Yang mana kesemuanya itu tentunya memiliki syarat, dimana dengan syarat-syarat tersebut saling berhubunganlah orang-orang yang menginginkan persahabatan dengan orang-orang yang mencintai Allah SWT. Dan pada syarat-syarat itu terdapat pula hak-hak dimana dengan menjaga hak- hak itu maka bersihlah persaudaraan dari noda- noda dan dari godaan syaitan.[22]

            Al Ghazali memberikan petunjuk kepada orang tua dan para pendidik umumnya agar anak-anak dalam pergaulan dan kehidupannya mempunyai sifat-sifat yang mulia dan memiliki etika pergaulan yang baik, sehingga ia dapat menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya dan dapat membatasi pergaulannya. Sifat-sifat itu adalah:

·       Menghormati dan patuh kepada kedua orang tua dan orang dewasa lainnya.

·       Merendahkan diri dan lemah lembut.

·       Membentuk sikap dermawan.

·       Membatasi pergaulan anak.[23]

            Dalam menjalani kehidupannya, seseorang tidak dapat hidup sendiri. Seseorang butuh orang lain dalam menjalani kehidupannya. Maka dari itu sudah sepantasnya jika ia dalam menjalani kehidupan, setiap orang harus saling menyayangi dan saling tolong menolong.

F.    Evaluasi Pendidikan Menurut Pandangan Imam Al-Ghazali

            Evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara-cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-spek kehidupan mental psikologi dan spiritual-religius, karena manusia hasil pendidikan Islam bukan saja sosok pribadi yang tidak beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya[24].

            Evaluasi pendidikan Al Ghazali ini pada prinsipnya diarahkan sepenuhnya untuk mengetahui kondisi murid berkaitan dengan penilikan sejauh mana muridtelah dapat meresap ilmu pengetahuan yang didapat dalam pembelajaran danperkembangan kepribadian murid. Evaluasi pendidikan Al Ghazali berangkat dari teori dasar pendidikannya, yaitu al-Fadhilah. Sebuah teori dasar yang melihat murid sebagai sosok yang memiliki kecerdasan dan keutamaan lebih, sehingga evaluasi pendidikannya diarahkan untuk mengetahui:

1)     Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan pribadinya dengan Tuhannya.

2)     Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.

3)     Sikap dan pengamalan terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya.

4)     Sikap dan pandangannya terhadap diri selaku hamba Allah dan selaku anggota masyarakat serta selaku khalifah di muka bumi (sebagai pemukiman lingkungan hidupnya).[25]

            Imam Al Ghazali menerangkan bahwa, evaluasi pendidikan berarti usaha memikirkan, membandingkan, memprediksi (memperkirakannya), menimbang, mengukur dan menghitung segala aktifitas yang telah berlangsung dalam proses pendidikan, untuk meningkatkan usaha dan kreativitasnya sehingga dapat seefektif dan seefisien mungkin dalam mencapai tujuan yang lebih baik di waktu yang akan datang. Adapun subjek evaluasi pendidikan adalah orang yang terkait dalam proses kependidikan meliputi: pimpinan, subjek didik, wali murid, seluruh tenaga administrasi maupun masyarakat. Dan yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktifitas yang terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing dalam proses pendidikan.[26]

BAB III

PENUTUP

A.     SIMPULAN

            Al Ghazali atau Muhammad bin Muhammad bin Muhamad bin Ahmad Al-Ghazali merupakan tokoh pendidikan Islam yang sudah tak diragukan lagi kemampuannya dalam bidang kependidikan Islam. Pendidikan menurut Al Ghazali menekankan pada pendidikan agama dan akhlak. Menurutnya pengertian dan tujuan pendidikan Islam yaitu pendidikan yang berupaya dan bertujuan dalam proses pembentukan insan paripurna. Adapun dalam membuat sebuah kurikulum, Al Ghazali memiliki dua kecenderungan, yaitu kecenderungan terhadap agama dan kecenderungan pragmatis.

Adapun aspek-aspek materi pendidikan Islam menurut pemikiran Al Ghazali adalah meliputi: pendidikan keimanan, akhlak, akal, sosial. Menurutnya guru yang baik itu selain cerdas dan sempurna akalnya, juga harus memiliki sifat-sifat yang terpuji. Adapun sifat yang harus dimiliki oleh seorang murid yaitu rendah hati, mensucikan diri dari segala keburukan taat dan istiqamah. Sementara yang menjadi evaluasi pendidikan adalah semua bentuk aktifitas yang terkait dengan tugas tanggung jawabnya masing-masing dalam proses pendidikan.

B.    SARAN

Besar harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi, penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempuma. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar tulisan ini dapat disusun menjadi lebih baik dan sempurna.

           



DAFTAR PUSTAKA

 

Agus, Zulkifli. "Pendidikan Islam dalam Perspektif Al-Ghazali." Raudhah Proud To Be     Professionals: Jurnal Tarbiyah Islamiyah 3.2 (2018): 21-38.

Imarah, Muhammad. 45 Tokoh Pengukir Sejarah. Pajang: Era Intermedia, 2007.

Arifin, Muzayyin. 2010. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Primarni, Amie, dan Khairunnas. 2016. Pendidikan Holistik; Format Baru Pendidikan       Islam Membentuk Karakter Paripurna. Jakarta: AMP Press, PT Al Mawardi      Prima.

Nata, Abuddin, 2001, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid; Studi     Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Al Jumbulati, Ali. 1994. Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Ihsan, Hamdani, danIhsan, Fuad. 2007. Filsafat Pendidikan Islam.                       Bandung: CV Pustaka Setia.

Ramayulis. 2015. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Sulaiman, Fathiyyah Hasan. 1986. Pikiran Al Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu.          Bandung: CV Diponegoro.

Arifin, Muzayyin. 2010. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam.                                      Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

Suryadarma, Yoke, and Ahmad Hifdzil Haq. "Pendidikan akhlak menurut imam            Al-Ghazali." At-Ta'dib 10.2 (2015).

Rohayati, Enok. "Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak." Ta'dib: Jurnal  Pendidikan Islam 16.01 (2011): 93-112.

 

 

 

 

 



[1] Imarah, Muhammad. 45 Tokoh Pengukir Sejarah. Pajang: Era Intermedia, 2007.

[2] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Ilsam, (Bandung: CV Pustaka Srtia), hal 72

[3] Amie Primarni dan Khairunnas, Pendidikan Holistik; Format Baru Pendidikan Islam Membentuk Karakter

Paripurna, (Jakarta: AMP Press, PT Al Mawardi Prima, 2016), Cet. Ke-2, hal. 113.

[4] Abuddin Nata, Perspektif Tentang Pola Hubungan Guru-Murid, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2015),

Cet. Ke-2, hal. 83.

[5] Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan Islam,(Jakarta: PT Renika Cipta),hal. 134.

[6] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 72

[7] Ramayulis, Filsafat PendidikanIslam, (Jakarta Kalam Mulia), hal. 121

[8] Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu, (Bandung : CV

Diponegoro, 1986), Cet. Ke-1, hal. 28.

[9] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakata : PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.

Ke-1, hal. 86.

[10] Amie Primarni dan Khairunnas, Pendidikan Holistik Formata Baru Pendidikan Islam Membentuk Karakter

Paripurna,( Jakarta AMP Press, PT Al Mawardi Prima),hal. 129.

[11] Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu ,(Bandung:

   CV.Diponogoro), hal. 28.

[12] Muzayyin Arifin, Filsafat PendidikanIslam, (Jakarta: PT Bumi Aksara), hal. 95.

[13] Amie Primarni dan Khairunnas, Filsafat Pendidikan Islam. hal. 113.

[14] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, hal. 93.

[15] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam,hal. 237.

[16] Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, hal. 97.

[17] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Hal. 261.

[18] Al Ghazali, Terjemah Ihya’ Ulumiddin, (Semarang : CV Asy Syifa’, 2009), Jilid5 Cet. H-30,

hal.123.

[19] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Hal. 257.

[20] Akmal Hawi, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, (Palembang : IAIN Raden Fatah Press) hal. 147.

[21] Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Hal. 267.

[22] Al Ghazali, Terjemah Ihya Ulumiddin III, (Semarang : CV Asy Syifa, 2003), hal. 501.

[23] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidika Islam,hal. 257.

[24] Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam. hal. 224.

[25] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997), Cet. Ke-2, hal. 144.

[26] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,

1998), hal. 105.

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

JANGAN-KLIK