1-IRPAN-ILMI

Klik Info Ini...!

Full width home advertisement

irpan-ilmii

My Journey

Rise Your Hand

Post Page Advertisement [Top]

irpan-ilmii

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Indonesia merupakan bangsa yang memiliki berbagai macam suku, ras, etnis, agama dan budaya.  Hal ini tentu menjadi identitas bangsa Indonesia. Sebagaimana semboyan semangat kebhinekaan dan pancasila, maka perlunya saling menghormati serta menghargai sesama bangsa Indonesia. Hidup secaara berdampingan secara damai dalam bersosialisasi tentunya itu menjadi sebuah kebiasaan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa rakyat sebagian kecil masyarakat masih belum bisa menerima keberadaan dari suku lain. Hal ini tentunya harus ada pemahaman tentang wawasan kebangsaan.

Multikulturalisme secara sederhana bisa diartikan pluralisme budaya. Pluralisme budaya bisa dikatakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas. Tidak mengherankan apabila tokoh politik demokrasi dan pendidikan demokrasi, John Dewey, telah melahirkan karya besarnya mengenai hubungan antara demokrasi dan pendidikan[1].

Sikap saling menghargai, toleransi dan hidup bersama dalam keragaman adalah tujuan dari multikulturalisme, yang dapat dimiliki setiap insan melalui pendidikan yang dikenal dengan pendidikan multikultural.

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, berikut rumusan masalah :

A.      Bagaimana maklumat raja Asoka ?

B.      Apa definisi dari Bhinneka Tunggal Ika ?

C.      Bagaimana Ajaran Buddha tentang Multikultural ?

D.     Bagaimana Nilai-Nilai Pendidikan Buddha berbasis Multikultural ?

C.      Tujuan Masalah

Dari rumusan masalah diatas, berikut tujuan dari makalah ini :

A.      Untuk mengetahui maklumat raja Asoka.

B.      Untuk mengetahui definisi dari Bhinneka Tunggal Ika.

C.      Untuk mengetahui Ajaran Buddha tentang Multikultural.

D.     Untuk mengetahui Nilai-Nilai Pendidikan Buddha berbasis Multikultural.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Maklumat Raja Asoka

Secara latar bekalang Asoka merupakan pangeran kejam yang luar biasa kejam dan brutal yang membunuh saudara-saudaranya dalam perebutan tahta yang setelah memeluk agama Buddha dan bertransformasi drastis menjadi rajaarif-bijaksana yang pernah memerintah India pada 262 SM. Raja Asoka diyakini lahir pada 304 SM dan menjadi raja ke tiga dari dinasti Maurya. Beliau memiliki gelar devanampiya piyadasi yang berarti yang dicintai oleh para dewa, ia yang memandang dengan penuh cinta kasih.

Maklumat raja asoka diawali dari penderitaan dan kekacauan dari penahlukan Kalinga. Sebelum itu raja asoka sudah menganut budha 2 tahun sebelum perang kalinga. Maklumat Asoka terpadat pada pilar dengan tinggi rata-rata 40-50 kali. Maklumat ini ditandai oleh sebuah simbol kerajaan baik berupa seekor singa, seekor sapi jantan suci dan kuda, dan beberapa simbol kerajaan yang dapat bertahan lama, dikenal luas sebagai benda seni termegah India.

Ven. S. Dhammika dalam bukunya Maklumat Raja Asoka menyatakan bahwa Asoka memandang bahwa reformasi yang dilakukannya sebagai bagian dari kewajiban seorang umat Buddha. Tetapi, walau Beliau adalah seorang Buddhis yang sangat antusias, beliau jelas bukan seorang yang fanatik buta terhadap agamanya sendiri juga bukan orang yang tidak toleran terhadap ajaran lainnya. Hal ini membuat Raja Asoka memiliki pengharapan yang untuk menerapkan ajaran yang dianutnya dan kemantapan yang sama seperti sebagaimana Beliau mempraktikkan agamanya sendiri. Bisa dikatakan bahwa raja Asoka merupakan raja yang toleran dengan menghargai tumbuh kembang berbagai agama atau keyakinan yang ada di masyarakat.

 Konsep toleransi Raja Ashoka dapat ditemukan dalam Maklumat Raja Ashoka, yang ditulis pada pilar-pilar batu. Dalam maklumat Empat Belas Batu disebutkan bahwa setiap agama dapat berkembang dimana saja, maklumat tersebut selengkapnya berbunyi sebagai berikut:          

Yang-dicintai-oleh-para-Dewa, Raja Piyadasi, berhasrat bahwa semua ajaran agama dapat berkembang di mana saja, bagi semuanya berhasrat untuk mengendalikan diri dan menjaga kemurnian hati. Tetapi manusia memiliki berbagai macam hasrat dan nafsu keinginan, dan mereka boleh berlatih semua yang semestinya mereka latih atau cukup sebagian saja darinya. Tetapi seseorang yang memiliki kemampuan lebih namun tidak dapat mengendalikan dirinya, kurang memiliki kualitas hati,rasa-syukur dan bakti, adalah orang yang patut dikasihani. (Maklumat Batu ke 7).

Yang-dicintai-oleh-para-Dewa, Raja Piyadasi, menghargai baik para petapa maupun perumahtangga segala agama, dan Beliau memberi penghargaan kepada mereka dengan hadiah dan bentuk-bentuk penghargaan lainnya. Tetapi Yang-dicintai oleh para Dewa, Raja Piyadasi, tidak menghargai hadiah-hadiah dan penghormatan sebagaimana Beliau menghargai hal ini – bahwa musti ada tumbuh kembangnya esensi pokok ajaran setiap agama. Penumbuhkembangan esensi ajaran dapat dilakukan dengan beragam cara, tetapi semuanya pasti berakar pada terkendalinya ucapan, yakni: jangan membanggakan agamanya sendiri, jangan mencela ajaran agama orang lain tanpa alasan yang jelas. Dan jika memang ada alasan untuk mengkritik, haruslah dilakukan secara lembut. Dengan melakukan hal ini, akan memberi keuntungan bagi agama orang itu sendiri dan begitu pula bagi ajaran agama orang lain, dan berbuat yang sebaliknya bakal merugikan agama orang itu dan agama orang lainnya. Siapapun yang membanggakan ajaran agamanya sendiri, oleh karena keyakinan yang fanatik, dan menghina yang lain dengan pemikiran ‘Saya mengagungkan agama saya’, hanya akan merugikan agamanya sendiri.

Dapat disimpulan dari maklumat Raja Asoka tersebut mengajarkan bahwa kehidupan jaman modern seharusnya juga mengembangkan konsep toleransi. Hal ini agar tidak merasa superior, merasa paling benar dan besar serta menghambat perkembangan agama lain, tidak mencelanya, namun tetap mendukung dan menghargai agama lain sama seperti menghargai agama sendiri.

 

B.     Bhinneka Tunggal Ika

Indonesia merupakan negara multikultural terbesar di dunia. Secara konstitusional, hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi “Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika”[2]. Kenyataan ini dimana negara Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, suku, agama, budaya dan lain sebagainya. Negara Indonesia terdiri dari 17.000 pulau besar maupun kecil, Populasi penduduknya sekitar 275 juta jiwa dengan berbagai macam keberagamannya, terdiri dari 300 suku, dan 200 bahasa. Selain itu masyarakat Indonesia menganut 6 (enam) agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu, serta berbagai macam aliran kepercayaan.

Keberagaman bangsa Indonesia ini dapat menjadi sebuah berkah juga musibah. Menjadi sebuah berkah jika Indonesia sebagai sebuah entitas negara bangsa mampu merawat keberagamannya. Sebaliknya, dapat menjadi sebuah musibah jika bangsa ini tidak mampu merawat keberagaman, seperti disharmoni bangsa yang terjadi dewasa ini. Peristiwa disharmoni sosial yang dipertontonkan di media dan media sosial ini adalah cerminan bahwa negara ini dalam keadaan darurat kesadaran akan keberagaman.

Arti harafiahnya Bhinneka Tunggal Ika, bhinneka = beraneka, tunggal = satu, ika = satu, sehingga artinya adalah beraneka tetapi tetap satu jua. Bhineka Tunggal Ika dijadikan semboyan bangsa Indonesia untuk bersatu, setiap orang mengaku warga negara Indonesia tentu mengetahui arti dari Bhineka Tunggal Ika. Yang bermakna berbeda-beda tetapi satu jua.

Salah satu tokoh founding fathers yakni Muh. Yamin adalah tokoh yang pertama kali mengusulkan penggunaan kata Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan Negara kepada Presiden Soekarno. Ketika sidang BPUPKI berlangsung pada bulan Mei-Juni 1945. Muh. Yamin beberapa kali menyebutkan kalimat ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Bhinneka Tunggal Ika dalam sehelai pita yang dicengkram sang Garuda berdasarkan rancangan karya Sultan Hamid II (1913-1978) pertama kali 179 resmi digunakan dalam sidang kabinet Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950.

Konsensus Bhinneka Tunggal Ika mengikat persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia, yang terdiri dari beraneka ragam suku, budaya, ras, agama, dan bahasa. Sesuai dengan arti dari Bhinneka Tunggal Ika, Agama, ras, suku bangsa, bahasa, adat, dan budaya yang ada di Indonesia harus mempunyai sikap toleran dan saling mencintai. Bhineka tunggal ika merupakan bahasa sansekerta yang diambil dari kakawin Sutasoma Karangan Mpu Tantular pada masa kerajaan majapahit sekitar abad ke-14. Kakawinan ini menjadi istimewa karena mengajarkan toleransi antar umat hindu-siwa dengan umat buddha. Istilah bhineka tunggal ika dikutip dari pupuh (satu bentuk puisi tradisional) yang terdiri atas 139 bait, 5 bait diantaranya berbunyi:

“Rw neka dh Winuwus Buddha Wisma. Bhinneka rakwa ring apan kena parwanosen. Mangka ng jinatwa Z iwatatwa Tunggal. Bhinneka Tunggal Ika. tan hana Dharma mangraw”.

Artinya:

Konon buddha dan siwa merupakan zat yang berbeda. mereka memang berbeda, tetapi begaimanakah bisa dikenal. Sebab kebeenaran jina (Buddha) siwa adalah tunggal. Ragam, tetapi satu jualah itu. tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Dari situlah awal mula istilah bhineka tunggal ika ditemukan, oleh bapak bapak pendiri bangsa Kakawin Sutasoma ini menjadi terkenal karena sebagian bait dari kakawin tersebut digunakan sebagai falsafah bangsa Indonesia yaitu Bhineka Tunggal Ika. Tentunya kakawin ini menyimpan amanat yang mengajarkan toleransi beragama yang dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat indonesia yang penuh dengan keberagaman.[3]

C.      Ajaran Buddha tentang Multikultural

Multikukturalisme  sebenarnya  merupakan  konsep  dimana  sebuah komunitas  dalam  konteks  kebangsaan  dapat  mengakui  keberagamaan,  perbedaan  dan kemajemukan  budaya,baik  ras,  suku,  etnis dan  agama.  Sebuah konsep  yang  memberikan pemahaman kita bahwa sebuah bangsa yang plural atau majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam atau multikultur.

Istilah multikulturalisme berasal dari asal kata kultur. Adapun definisi dari kultur menurut Elizabeth Taylor dan L.H. Morgan berarti sebuah budaya yang universal bagi manusia dalam berbagai macam tingkatan yang dianut oleh seluruh anggota masyarakat[4]. Sementara Emile Durkheim sebagaimana menjelaskan kultur sebagai sekelompok masyarakat yang menganut sekumpulan simbol-simbol yang mengikat di dalam masyarakat untuk diterapkan[5].

Menurut Choirul Mahfud secara etimologis multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham)[6]. Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitas dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggungjawab untuk hidup bersama komunitasnya.

Multikulturalisme bisa dikatakan sebagai Ilmu yang mempelajari tentang kemajemukan tersebut dewasa ini sering disebut sebagai istilah pendidikan Multikultural menyatakan kemajemukan masyarakat Indonesia memang telah ditandai dengan berbagai perbedaan, yakni perbedaan dalam dimensi horizontal dan vertikal. Perbedaan secara horizontal ditandai dengan adanya kelompok sosial berdasarkan adat istiadat, agama, suku bangsa, dan bahasa.[7]

Pendidikan multikultural perlu dikembangkan agar masyarakat Indonesia lebih memahami pentingnya memelihara kerukunan antar sesama manusia, dalam memahami sesuatu harus secara utuh agar apa yang menjadi keagungan ilmu dalam multikultural bisa melebar luar tidak hanya sempit sebatas sebagai menghargai perbedaan, lebih dari itu pemahaman agar pentingnya menjaga keharmonisan, memberi etika dalam berpendapat kelompok lain, menjunjung asas kemanusian dan sebagainya diharapkan mampu memberi kejayaan dalam negara yang serba multi ini.[8]

Hal tersebut membuat Upali sangat terkesan sehingga ia langsung meminta untuk diterima sebagai murid Buddha. Tetapi Buddha mengatakan, "Upali, Selidikilah dengan seksama. Sungguh bagus bila orang-orang terkenal seperti engkau menyelidiki dengan seksama"

Upali bahkan semakin senang dan ia berkata, "Yang Mulia, adalah sangat menakjubkan bahwasanya Anda meminta saya untuk mempertimbangkannya dengan hati-hati. Jika itu adalah guru-guru yang Iain, mereka akan segera menerimaku dengan tanpa ragu-ragu, membawaku berkeliling di jalan-jalan dalam suatu prosesi dan mengumumkan bahwa seorang jutawan yang demikian-demikian telah meninggalkan agama/kepercayaan lamanya dan sekarang memeluk ajaran mereka. Ya, benar-benar, Yang Mulia, sudilah menerima saya sebagai pengikutMu"

 

Buddha akhirnya setuju menerima Upali sebagai pengikut dengan,

"Meskipun engkau sekarang telah menjadi pengikutKu, Upali, engkau harus mempraktekkan toleransi dan rasa welas-asih. Teruslah memberi dana kepada guru-guru agama terdahulumu, karena mereka masih amat tergantung pada tunjanganmu. Engkau tidak boleh mengabaikan mereka dalam menghentikan tunjangan yang biasanya engkau berikan kepada mereka".

Hal yang paling mendasar dalam penerapan ajaran Budha dalam multikultural tercemin pada pengambilan keputusan dengan tidak melibatkan emosi sesaat. Ajaran Budha lebih mengedepankan kedamaian yang sebagian besar karena keindahan yang diajarkan oleh Budha itu sendiri.[9]

D.     Nilai-Nilai Pendidikan Buddha berbasis Multikultural

Apabila di dalam dunia ini seseorang menghancurkan kehidupan makhluk hidup, suka berbicara tidak benar,mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perbuatanasusila dengan istri orang lain. Atau menyerah pada minumanyang memabukkan, maka itu berarti mencabut akarkehidupannya sendiri, di dalam kehidupan yang sekarang didunia ini.”Dhammapada 246-247              

Selain itu umat Buddha, pada dasarnya secara sadar menyatakan berlindung kepada Buddha, Dharma dan Sangha (Triratna). Umat Buddha menjalankan selalu menjalankan latihan lima aturan moralitas yang disebut Pancasila Buddhis, dalam hal ini akan kita sebut sebagai 5 (lima) etik global sebagai nilai-nilai etik yang berlaku global yang terdiri dari beraneka ragam perbedaan (Multikultur) yang nyata dan tidak terpungkiri.

Dalam menjalankan nilai-nilai pendidikan Budha ada 5 etika global sebagai nilai etika global yang sering disebut Pancasila Buddhis. Berikut 5 etika global Buddhis yang merupakan nilai pendidikan budha berbasis multikultur adalah :

1.      Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup. 

2.      Aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan. 

3.      Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan asusila. 

4.      Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan tidak benar. 

5.      Aku bertekad melatih diri menghindari mengkonsumsi makanan/minuman yang menyebabkan lemahnya kesadaran.

Kelima hal di atas, diterjemahkan menjadi lebih sederhana menjadi :

1.      Mencintai kehidupan. 

2.      Menghargai kepemilikan. 

3.      Menjaga kesetiaan. 

4.      Menegakkan Kebenaran &Kejujuran.

5.      Mempertahankan kesadaran.[10]


 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

              Secara kesimpulan Pendidikan Multikultural pada prinsipnya mengedepankan kesetaraan, saling menghormati, dan mencintai atas berbedaan ras, suku dan budaya sosial. Tentunya hal ini bertujuan untuk terciptanya suasana toleransi umut beragama umumnya sesama rakyat Indonesia. Hal ini penting dan merupakan salah satu bentuk menjaga keutuhan negara dan cinta terhadap tanah air. Agama merupakan hal yang paling riskan dalam memunculkan sebuah konflik. Maka hal ini salah toleransi menjadi kunci demi keutuhan negara.

              Konsep Pendidikan Budha berbasis multikultural mengedepankan hubungan manusia dengan alam. Tentunya hal ini sebagai bentuk bersyukur dan rasa terimaksih kepada pencipta. Dengan pembawaan ajaran yang damai dan tidak melibatkan nafsu sesaat menjadi keindahan tersindiri bagi penganut agama budha sendiri. Sesuai apa yang di pesan Raja Asoka yang mengedepankan toleransi.


 


DAFTAR PUSTAKA

1.      Hilmy, Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme Jurnal Ulumuna, H.A.R Tilaar, Kekuatan dan Pendidikan, Jakarta: Grasindo, 2004.

2.      Indrawan, Irjus, dkk,  Filsafat Pendidikan Multikultural, Banyumas : CV Pena Persada, 2020.

3.      Mashadi ,Imron, Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme, Jakarta : Balai Litbang Agama, 2009.

4.      Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36A

5.      Vina Dwi Laning, Hidup Berbhineka Tunggal I`ka. klaten : Cempaka Putih, 2008.

6.      Yaqin, Ainul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta : Pilar Media, 2005.

7.      http://eprints.uny.ac.id/18133/3/BAB%20II%2006.01.012%20Dhi%20s.pdf,

 



[1] H.A.R Tilaar, Kekuatan dan Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2004) hal. 1790

[2] Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36A

[3] Vina Dwi Laning, Hidup Berbhineka Tunggal I`ka. (klaten : Cempaka Putih, 2008), Hal, 5-6.

[4] Yaqin, Ainul, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta : Pilar Media, 2005). Hal. 27

[5] Yaqin, Ainul, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta : Pilar Media, 2005) Hal. 28

[6] http://eprints.uny.ac.id/18133/3/BAB%20II%2006.01.012%20Dhi%20s.pdf (diakses pada pukul 22:18 tanggal 18 Oktober 2022)

[7] Hilmy, Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme Jurnal Ulumuna, (Mataram :  STAIN. Vol. VII. 2003) Edisi 12. No. 12

[8] Mashadi ,Imron, Pendidikan Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme, (Jakarta : Balai Litbang Agama, 2009)

[9] Indrawan, Irjus, dkk,  Filsafat Pendidikan Multikultural, (Banyumas : CV Pena Persada, 2020) Hal. 182

[10] Indrawan, Irjus, dkk,  Filsafat Pendidikan Multikultural, (Banyumas : CV Pena Persada, 2020) Hal. 184

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

JANGAN-KLIK