1-IRPAN-ILMI

Klik Info Ini...!

Full width home advertisement

irpan-ilmii

My Journey

Rise Your Hand

Post Page Advertisement [Top]

irpan-ilmii

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keberagaman suku, bangsa, agama dan budaya. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa di lingkungan masyarakatnya terjadi konflik yang menyebabkan perpecahan.

Pluralisme dan multikulturalisme merupakan suatu konsep untuk meredakan konflik-konflik yang bisa terjadi kapan saja di masyarakat. Mengingat dengan adanya keberagaman pada suku, bangsa, agama dan budaya di masyarakat tentunya terdapat banyak sekali perbedaan-perbedaan dalam kehidupannya. Sejak negara RI didirikan, konsep-konsep tersebut telah ada dan seringkali dikaitkan dengan semboyan kita yakni “Bhinneka Tunggal Ika” yang memiliki arti “Berbeda-beda tetapi tetap satu tujuan”.

Toleransi dalam beragama sangatlah penting diterapkan pada kehidupan masyarakat indonesia. Dengan toleransi terhadap agama yang dianut atau dipercayai oleh orang lain itu berarti kita menghargai hak orang lain dalam memilih agamanya masing-masing. Terdapat dua hal yang harus dipahami terkait dengan toleransi seperti realitas kemajemukan yang rawan konflik dan pemahaman bahwa toleransi merupakan konsep agung dan mulia yang menjadi bagian dari ajaran-ajaran dalam agama, termasuk Kristen.

 

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan pluralisme, multikulturalisme dan toleransi beragama?

2.      Seberapa pentingkah pemahaman mengenai pluralistik, multikultural dan toleransi beragama dalam persprektif Alkitab di tengah masyarakat plural yang berpotensi konflik?

3.      Seperti apakah Pendidikan Agama Kristen (PAK) yang memuat nilai-nilai pluralisme, multikulturalisme dan toleransi beragama?

C.      Tujuan

1.      Mengetahui pluralisme, multikulturalisme dan toleransi beragama.

2.      Mengetahui pentingnya pemahaman mengenai pluralistik, multikultural dan toleransi beragama dalam persprektif Alkitab di tengah masyarakat plural yang berpotensi konflik.

3.      Mengetahui Pendidikan Agama Kristen (PAK) yang memuat nilai-nilai pluralisme, multikulturalisme dan toleransi beragama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian Pluralisme, Multikulturalisme dan Toleransi Beragama

1.      Pluralisme

Pluralisme merupakan keberagaman yang ada di masyarakat dan memahami perbedaan diantara mereka atau toleransi terhadap setiap perbedaan, seperti perbedaan dari perihal suku, bangsa, agama, asal dan latar belakang budaya. Seperti yang diungkapkan oleh Tanudirjo, hal ini hanya memenuhi unsur “bhinneka” dan tidak mengandung unsur “tunggal”, yang artinya terdapat hubungan diantara yang beragam yaitu kesatuan.

Kemudian terdapat definisi lain mengenai pluralisme dalam kaitannya dengan agama. Seperti yang dijelaskan oleh Hastings, beliau mendefinisikan pluralisme agama merupakan pemahaman dan pengahayatan masyarakat serta penerimaan terhadap fakta bahwa terdapat perbedaan keyakinan atau kepercayaan dalam beragama.

Bedjo mengatakan bahwa, pluralisme agama dapat dipahami minimal tiga kategori. 1) Kategori sosial, dalam pandangan sosial terdapat pengertian bahwa pluralisme agama adalah semua agama itu berhak ada dan diakui oleh masyarakat. artinya kita harus mentoleransi dan menghargai serta menghormati iman dan kepercayaan dari penganut agama lain. 2) Kategori etika dan moral, pada etika dan moral ini pluralisme agama memiliki definisi bahwa semua pandangan moral dari masing-masing agama bersifat relatif dan sah. Artinya kita tidak dianjurkan untuk menghakimi penganut agama lain dalam segi pandangan yang berbeda, misalnya pandangan mengenai isu pernikahan, aborsi, bunuh diri dan lain sebagainya. 3) Kategori teologis dan Filosofis, pluralisme agama dalam pandangan ini adalah agama-agama pada dasarnya itu setara, sama-sama benar dan menyelamatkan penganutnya. Maksudnya, semua agama itu menuju kepada Tuhan, hanya saja jalan dan proses beribadahnya yang berbeda-beda.

2.      Multikulturalisme

Multikulturalisme merupakan istilah dari konsep politik, khususnya politik identitas. Multikulturalisme berbeda dengan multikultural yang diartikan sebagai keanekaragaman budaya. Penyeragaman budaya dengan dalih persatuan dan kesatuan bangsa melalui kebijakan asimilasi telah gagal. Pada tahun 1960-an, kondisi ini sempat menimbulkan isu-isu diskriminasi terhadap kaum kulit hitam di Amerika dan separatisme Quebec di Kanada. Pada tahun 1965 pemerintah Kanada mempopulerkan istilah multikulturalisme untuk menjamin kesetaraan kedudukan warganegaranya.

Disebutkan, multikulturalisme lahir dari keyakinan bahwa setiap warganegara itu sama kedudukannya. Multikulturalisme menjamin setiap warga dapat mempertahankan jatidirinya (identity), bangga terhadap nenek moyangnya (ancestry), dan mempunyai rasa milikinya (sense of belonging). Konsep ini dipandang sebagai gerakan sosial alternatif terhadap kebijakan asimilasi. Gerakan ini merupakan penegasan dalam menghargai keragaman budaya terutama dari kelompok minoritas yang selama ini tersisihkan. Selanjutnya, istilah ini banyak dipergunakan di Australia dan negara lain sejak 1970-an.[1]

Jadi, dari konteks kesejarahan Indonesia jauh lebih dulu menyadari, menghargai dan bahkan menggunakan paham multikulturalisme dibanding bangsa-bangsa lain. Sejak Indonesia merdeka, negara ini telah menunjukkan politik identitas Bhinneka Tunggal Ika, yang maknanya tidak berbeda jauh dengan konsep multikulturalisme yang muncul di negara-negara barat.

Sebagai konsep politik, multikulturalisme bukan hanya merujuk pada keragaman ‘budaya’ tetapi juga keragaman dalam agama, etnis, ras, dan bahasa, bahkan juga mayoritas dan minoritas. Dalam konsep ini ada semangat untuk mengangkat kembali harkat orang-orang yang selama ini jatidirinya tidak dihargai dan mencoba mengubah pola hubungan dan komunikasi yang selama ini telah meminggirkan kelompok-kelompok tertentu. Dalam konteks ini, multikulturalisme lalu terkait dan membawa dampak pada kepentingan ekonomi maupun politik, di antaranya adalah tuntutan memperbaiki kedudukan ekonomi dan politis dari kelompok yang tidak diuntungkan karena status mereka yang ‘dibedakan’ atau minoritas (Stanford Encylopedia of Philosophy).

3.      Toleransi agama

Toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerance yang menurut Webster’s New American Dictionary berarti memberi kebebasan (to let, membiarkan) pendapat orang lain dan berlaku sabar menghadapi orang lain. Dalam bahasa Arab toleransi sama dengan tasamuh, artinya membiarkan sesuatu untuk saling mengijinkan, saling memudahkan.

Dalam kamus bahasa Indonesia, toleransi didefinisikan sebagai sikap saling menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kelakuan yang lain dari yang dimiliki oleh seseorang atau yang bertentangan dengan pendirian seseorang. Intinya, toleransi adalah konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama berdasarkan prinsip saling menghormati. Toleransi, karena itu, demikian Fios dan Gea, mensyaratkan adanya sikap yang mendahuluinya yaitu inklusif dan bukan eksklusif.[2]

Terkait dengan pemahaman tentang toleransi itu adalah menarik untuk memperhatikan pandangan Tanja mengenai dialog untuk toleransi antar umat beragama, “maka jangan khawatir dengan dialog, karena yang ingin dicapai dalam dialog bukan soal kompromi akidah, melainkan bagaimana akhlak keagamaan kita dapat disumbangkan kepada orang lain.”[3] Jadi toleransi tidak harus mengorbankan atau melecehkan agama untuk menegakkan kerukunan antarumat beragama, namun juga tidak berarti mengatasnamakan ajaran agama untuk mengorbankan kerukunan antarumat beragama.

Berdasarkan pemahaman di atas dapat dikatakan bahwa pluralisme, multikulturalisme dan toleransi agama adalah tiga kata yang saling berhubungan. Pemahaman toleransi tidak dapat dilepaskan dari pemahaman tentang pluralisme dan multikulturalisme dalam hubungannya dengan nation-building. Idealnya semakin besar pengakuan dan penerimaan seseorang terhadap fenomena pluralisme dan multikulturalisme maka akan semakin tinggi pula toleransinya kepada sesama yang berbeda (agama, suku, etnis, budaya dan status sosial) dengannya di republik ini.

 

B.      Pentingnya Pemahaman Pluralistik, Multikultural dan Toleransi Beragama dalam Perspektif Alkitab di Tengah Masyarakat Plural yang Berpotensi Konflik

Toleransi beragama sangat penting di Indonesia sedikitnya berkaitan dengan dua hal. Pertama adalah realitas kemajemukan yang rawan konflik. Kedua berkaitan dengan pemahaman bahwa toleransi sesungguhnya merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organik dari ajaran agama-agama, termasuk agama Kristen.

Alasan yang pertama kiranya tidak perlu kita bahas panjang lebar karena sudah cukup banyak contohnya. Contoh dalam kasus penafsiran peraturan bersama. Alasan yang kedua termuat dalam Alkitab yang menjadi pegangan utama kita dalam memandang pluralisme, multikulturalisme dan toleransi beragama di Indonesia yang ditandai aneka pluralitas.

1.      Perjanjian lama

Dalam sejarah bangsa Israel sebagaimana tertulis di dalam PL, tampak bahwa Israel telah hidup di dalam lingkungan masyarakat yang pluralis. Banyak bangsa dan agama lain yang hidup berdampingan dengan bangsa Israel. Leluhur bangsa Israel juga sudah mengalami perjumpaan dengan bangsa-bangsa lain. Misalnya, Abraham dan keturunannnya seperti Ishak dan Yakub. Bahkan mereka juga sempat hidup di wilayah kekuasaan bangsa lain.

Contoh yang paling jelas adalah Abraham yang keluar dari Ur di kota Kasdim Bangsa Israel lalu hidup 40 tahun dalam perjalanan di padang gurun untuk pergi dan menduduki tanah yang dijanjikan yaitu Kanaan. Di bawah kepemimpinan Yosua, mereka berhasil merebut tanah perjanjian. Israel menjadi kerajaan dengan raja-raja yang terkenal seperti Daud dan Salomo. Di bawah kepemimpinan raja-raja ini Israel hidup dalam kejayaan. Tapi penggantipengganti mereka hidup dalam kelaliman sehingga Tuhan menghukum Israel.

Dari pengalaman perjumpaan bangsa Israel dengan bangsa-bangsa lain, sikap umum atau dominan yang diperlihatkan adalah sikap eksklusif dan superior. Israel pada posisi khusus, diakui sebagai bangsa pilihan. Sebagai bangsa pilihan, ia diistimewakan, yaitu mendapat berkat dan perlindungan Allah.  Di sini ada pemahaman bahwa bangsa lain perlu diselamatkan; karena itu adalah tugas nabiIsrael untuk menyampaikan pesan Allah kepada mereka supaya mereka bertobat.

Jadi bangsa-bangsa atau agama-agama lain, dilihat sebagai pihak yang tidak selamat dan perlu diselamatkan. Pluralitas bangsa atau agama di sini tidak dipahami dan disikapi sebagai sebuah keragaman yang harus diterima tetapi yang harus diselamatkan dengan membuat bangsa yang berbeda itu bertobat dan beralih-percaya kepada Allah. Kota Niniwe yang kemudian bertobat, diampuni dan diselamatkanTernyata, ada bangsa-bangsa lain yang diakui sebagai bangsa yang diberkati Allah, yaitu Mesir dan Asyur (yang sebenarnya adalah musuh-musuh Israel). Firman Tuhan melalui nabi Yesaya mengatakan:

“Pada waktu itu akan ada mezbah bagi Tuhan di tengahtengah tanah Mesir dan tugu peringatan bagi Tuhan pada perbatasannya. Itu akan menjadi tanda kesaksian bagi Tuhan semesta alam di tanah Mesir: apabila mereka berseru kepada Tuhan oleh karena orang-orang penindas, maka Ia akan mengirim seorang juru selamat kepada mereka, yang akan berjuang dan akan melepaskan mereka. Tuhan akan menyatakan diri kepada orang Mesir, dan orang Mesir akan mengenal Tuhan pada waktu itu; mereka akan beribadah dengan korban sembelihan dan korban sajian, dan mereka akan bernazar kepada Tuhan serta membayar nazar itu.”(Yesaya 19:19-21; lihat juga pembahasan Ariarajah, 1987).

 

2.    Perjanjian baru

Sumber utama bagi pandangan dan sikap Kristen dalam Alkitab Perjanjian Baru tentang pluralisme, multikulturalisme dan toleransi adalah teladan yang diperlihatkan Yesus. Yesus atau agama Kristen muncul, berkarya dan beredar mula-mula di dalam kalangan masyarakat dan agama Yahudi. Jadi ketika muncul itu, pluralitas sudah menjadi bagiannya. Karena itu, ajaran Yesus kekristenan awal menyangkut pluralisme dan multikulturalisme dipengaruhi oleh perjumpaannya dengan agama-agama lain, terutama Yahudi dan helenisme (budaya-agama Yunani).

Secara garis besar, partikularisme atau eksklusifisme yang melihat Yesus dan ajarannya sebagai kebenaran utama atau yang satu-satunya tampak mendominasi ajaran Perjanjian Baru, baik teologi kitab-kitab injil maupun surat-surat Paulus, serta surat-surat umum. Yesus dilihat sebagai satu-satunya jalan kepada keselamatan. Kitab Injil Yohanes memperlihatkan keistimewaan peran Yesus:

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepadanya beroleh hidup yang kekal.”(Yohanes 3: 16).

Kata Yesus kepadanya:

“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”(Yohanes 14:6).

Jadi di sini tampak adanya pandangan yang eksklusif atau partikular dari perkataan Yesus itu; bahwa Ia adalah jalan menuju kepada Allah atau Ia adalah jalan keselamatan. Ajaran partikular ini mewarnai ajaran Alkitab PB dan kekristenan di sepanjang sejarah sampai saat ini. Ini adalah ajaran inti dalam agama Kristen, yaitu bahwa Yesus adalah Juruselamat; Ia memberikan atau mengantar manusia pada jalan yang benar menuju Tuhan dan mencapai keselamatannya.

Pandangan dan sikap Yesus terhadap bangsa atau agama lain menunjukkan pengakuan dan penerimaan-Nya terhadap eksistensi mereka; dan mereka adalah bangsa yang perlu diperlakukan secara baik, yaitu dengan memberikan perhatian dan mengangkat harkat martabat hidup mereka.

Masyarakat lain juga menjadi ajaran atau keyakinan dan telah mendorong banyak orang Kristen, mulai dari awal sejarah gereja, dalam diri para rasul, sampai saat ini di dalam diri para misionaris, untuk melakukan pekabaran Injil (yang oleh kalangan agama lain dinilai sebagai usaha kristenisasi) terhadap pluralitas seperti ini, yang diajarkan Yesus, seperti dalam contoh yangIa lakukan terhadap perempuan Samaria, adalah perjumpaan yang proaktif dan melakukan dialog. Ini dimaksudkan dan berfungsi menghasilkan saling paham, saling menerima dan saling mengangkat harkat dan martabat hidup.

Yesus mengambil contoh atau teladan yang baik dari pihak lain; dalam hal ini cerita tentang orang Samaria yang baik hati (Lukas 10: 25-37) dan kisah seorang perwira di Kapernaum (Lukas 7:1-10) di mana Yesus menunjukkan kekaguman-Nya dan memberikan pujian kepada orang yang disebut kafir oleh masyarakat Yahudi pada masa itu karena jiwa toleransi kemasyarakatan dan kepedulian si perwira terhadap nasibmhambanya.

Kata Yesus: "Aku berkata kepadamu, iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel!".

 

C.      Pendidikan Agama Kristen yang Memuat Nilai-Nilai Pluralisme, Multikulturalisme dan Toleransi Beragama

Pendidikan Agama Kristen (PAK) yang konvensional yang lebih menekankan kesalehan pribadi dan relasi terbatas dengan orang lain, terutama yang berbeda agama, sudah tidak relevan jika dihadapkan dengan realitas kemajemukan dan situasi kekinian di negeri kita yang kerap diwarnai potensi konflik, bahkan konflik itu sendiri. multikulturalismedan toleransi agama adalah mutlak, bukan bersifat pilihan.

Seymour merumuskan bahwa pendidikan kristiani merupakan sebuah percakapan kehidupan, sebuah usaha untuk menggunakan sumber iman dan tradisi kultural dalam menghadirkan masa depan yang adil dan mempunyai harapan.[4]

PAK yang berwawasan pluralistik-multikultural adalah model pendidikan agama alternatif yang mengusung pedekatan dialogis untuk kesadaran bersama. Titik tolak PAK yang demikian itu adalah prinsip kasih yang universal sebagaimana diajarkan Yesus dalam Injil Matius 22: 37-40,

"Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."

Kasih kepada Allah meliputi:

a)   Kesetiaan dan keterikatan kita kepada-Nya;

b)   Iman kita sebagai sarana pengikat yang kokoh dengan Dia;

c)   Kesetiaan dalam wujud penyerahan diri kita kepada-Nya;

d)  Ketaatan yang sungguh-sungguh, yang dinyatakan dalam pengabdian kita sesuai

 

Bagaimana integrasi dan implementasi nilai-nilai pluralisme, multikulturalisme dan toleransi itu ke dalam PAK? Pendidikan pluralistik-multikultural adalah pendidikan yang “memanusiakan manusia”, pendidikan yang mengajarkan kesetaraan, penghargaan atas derajat kemanusiaan dari latar belakang agama, etnis, suku dan budaya yang berbeda.

Supardan mengatakan sedikitnya ada tiga tujuan inti pendidikan multikultural, yakni: perubahan diri (self transformation), perubahan sekolah dan pendidikan (shools and education transformation), perubahan masyarakat (social transformation).[5]

Berdasarkan pandangan para pakar di atas maka PAK yang berwawasan pluralisme, multikulturalisme dan toleransi agama kiranya dapat dikembangkan dengan sejumlah pendekatan atau cara. Beberapa contoh cara penerapannya dari penelitian para ahli adalah sebagai berikut; Dalam konteks sekolah, Simmons & Bearden menawarkan contoh yang sangat baik tentang bagaimana kehidupan sehari-hari siswa dapat dihubungkan dengan kurikulum ilmu sosial. Misalnya materi PAK dengan topik menghargai atau mengasihi sesama, dapat disampaikan dengan tugas proyek.

Siswa diminta membentuk kelompok dengan anggota yang tidak homogen, tetapi heterogen, dari latar belakang yang berbeda. Mereka diminta untuk menemukan poin-poin positif apa saja yang ada dalam kehidupan keluarga mereka, misalnya: bagaimana mereka mengatasi konflik-konflik berlatar perbedaan di antara anggota keluarga. Kemudian mereka diminta membuat laporan yang bersifat reflektif dari perspektif iman dan mempresentasikan di kelas.

Berdasarkan penelitian Goodman. Ia meneliti hubungan masyarakat dan budaya. Dalam tesisnya, Goodman melihat pengetahuan itu ibarat media massa yang berpengaruh besar terhadap pemikiran seorang siswa. Karena itu siswa harus dididik untuk berpikir kritis. Goodman mengilustrasikan kehidupan anak-anak itu sendiri sebagai “teks utama”. Jadi yang terpenting adalah bagaimana siswa harus membaca “teks utama” itu dan merefleksikannya secara kritis dalam rangka hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan mereka. Dalam hal ini Goodman melihat terdapatnya hubungan yang saling mempengaruhi antara sekolah dan masyarakat.[6]

Penelitian Marri yang berfokus pada pengembangan rasa hormat guru terhadap pengalaman siswa untuk membantu membangun kepekaan mereka dalam hidup bermasyarakat, membantu siswa belajar lebih kenal dan akrab dengan berbagai budaya, kelompok etnis,[7] dan kelompok rasmelalui pendidikan multikultural yang demokratis. Para guru dalam penelitian ini diminta untuk sering menggunakanpendekatan kerjasama kelompok di mana para siswa dapat saling belajar dari perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka.

Dalam konteks pembelajaran PAK, pendekatan ini dapat diwujudkan dengan pembahasan tematik tentang isu-isu kemiskinan yng dikaitkan dengan kepedulian Allah, diskriminasi gender yang dikaitkan dengan kisah dan tujuan penciptaan, ujaran kebencian (hate speech) yang dikaitkan dengan perintah Tuhan untuk saling mengasihi, diskriminasi agama dan lain-lain dalam kelompok-kelompok kecil.

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, penulis menyimpulkan bahwa sebagai umat beragama kita harus mengahargai dan mentoleransi terhadap penganut agama-agama lain. Dengan menunjung tinggi tolenransi dan saling menghargai antar umat beragama, maka tidak akan terjadi perpecahan dimasyarakat. Karena pada dasarnya semua agama membimbing agar kita beribadah dan yakin terhadap adanya Tuhan, hanya saja prossesnya yang berbeda.

Saran

Kami sebagai penulis makalah ini menyarankan agar kita semua tetap menjaga toleransi antar umat beragama. Adapun untuk penulisan dan materi yang masih kurang baik, kami mohon maaf. Bagi para pembaca arilah sumber lain untuk menambah ilmu dan pengetahuan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

Bennet, dkk. 2005. New Keywords: A Revised Vocabulary For Culture And Society. Blackwell.

Fios,F, Gea, A. A. 2013. Character Building: Spiritual Development. Binus University Press.

Goodman, S. 1996. Media Education: Culture And Community In The Classroom. New York: The New York Museum Of Comtemporary Art.

Jack L Seymour. (ed). 2003. Memetakan Pendidikan Kristiani Pendekatan-Pendekatan Menuju Pembelajaran Jemaa. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 146.

Marri, A.R. 1996 Building a Framework For Classroom-Based Multicultural Democratic Education: Learnig From Three Skilled Teachers. Teachers College Record.

Santoso S. 2018. Tinjauan Kritis Terhadap Pendidikan Agama Multikultural Barbara Wikerson. Jurnal ABDIEL. Vol 2: hal 58.

Supardan, D. 2019. Multiculturalisme And Multiculturalisme Education In Indonesia: Oppourtunities And Challenges. Dalam http://sejarah.upi.edu/artokel/dosen/multiculturalism-and-multiculturalm-education-in-indonesia-opportunites-and-challange-3/. Bandung: UPI. Diakses Tanggal 16 Oktober 2022.

Tanja, V. I. 1998. Pluralisme Agama dan Problema sosial: Diskursus Teologi Tentang Isu-isu Kontenporer. Jakarta: Pustaka Cidesindo,



[1] Bennet, dkk, New Keywords: A Revised Vocabulary For Culture And Society, (Blackwell: 2005).

[2] Fios,F, Gea, A. A, Character Building: Spiritual Development, (Binus University Press: 2013).

[3] Tanja, V. I, Pluralisme Agama dan Problema sosial: Diskursus Teologi Tentang Isu-isu Kontenporer, (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1998).

[4] Jack L Seymour, (ed), Memetakan Pendidikan Kristiani Pendekatan-Pendekatan Menuju Pembelajaran Jemaa, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), hlm. 146.

[5] Supardan, D, Multiculturalisme And Multiculturalisme Education In Indonesia: Oppourtunities And Challenges. Dalam http://sejarah.upi.edu/artokel/dosen/multiculturalism-and-multiculturalm-education-in-indonesia-opportunites-and-challange-3/, (Bandung: UPI, 2019)

[6] Goodman, S, Media Education: Culture And Community In The Classroom, (New York: The New York Museum Of Comtemporary Art, 1996).

[7] Marri, A.R, Building a Framework For Classroom-Based Multicultural Democratic Education: Learnig From Three Skilled Teachers, (Teachers College Record: 2005).

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

JANGAN-KLIK