1-IRPAN-ILMI

Klik Info Ini...!

Full width home advertisement

irpan-ilmii

My Journey

Rise Your Hand

Post Page Advertisement [Top]

irpan-ilmii

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara multikulturalisme terbesar di dunia. Tilaar mengemukakan bahwa multikulturalisme memiliki dua pengertian yang sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, “kulturalisme” yang berarti kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan berarti sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis tetapi juga pengakuan tersebut mempunyai implikasi politis, sosial, dan ekonomi.[1]

Kebenaran dari pernyataan Indonesia merupakan negara multikultural tersebut menurut Yaqin, hal tersebut dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun greografis yang begitu beragam dan luas. Jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku yang menggunakan hampir 200 juta bahasa yang berbeda. Selain itu, mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, serta berbagai macam aliran kepercayaan lainnya.[2] Oleh karena itu, dalam pendidikan pada setiap agama tentunya memiliki nilai-nilai multikulturalisme yang perlu dikembangkan dan diimplementasikan untuk memilihara kemajemukan tersebut.

 

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:

1.      Apa saja nilai-nilai pendidikan katolik mengenai multikulturalisme?

C.      Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan katolik yang berbasis multikulturalisme.

 


 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Gereja Katolik Selayang Pandang

Gereja katolik memandang dirinya sebagai entitas gerejawi yang universal. Gereja katolik bisa berarti “agama katolik roma” yang merupakan salah satu dari sekian banyak agama. Gereja juga dapat diartikan sebagai lembaga atau institusi Gereja yang dipimpin oleh Paus dengan perangkat kuria dan kongregasinya. Kata “gereja” juga berarti anggota atau warga gereja yang memeluk dan menghayati iman (dalam kadar yang beranekawarna) akan Allah yang esa yang melakukan karya-karya-Nya dalam peristiwa Yesus yang dijadikan Kristus.

Sebagaimana diungkapkan dan dinyatakan dalam Syahadat Nicea-Konstantinopel yang memiliki empat ciri, sifat atau tanda jati diri, yaitu Gereja yang satu, Kudus, Katolik dan Apostolik.

1.      Satu

Umat katolik bersatu dengan Kristus dalam Roh-Nya dengan iman, harapan dan kasih yang dimiliki dan dikembangkan bersama dalam paguyuban. Kesatuan di dalam Gereja mendapatkan dasarnya dari kesatuan Tritunggal, yaitu Bapa, Putera dan Roh Kudus. Allah Tritunggal kendati memiliki tiga pribadi, namun hakikatnya adalah Satu. Sama halnya dengan Gereja, kendati beraneka ragam, namun tetap Satu yaitu Gereja yang berkumpul dalam Tuhan Yesus Kristus.

Roh Kuduslah yang menyatukan Gereja. Dalam konteks kehidupan kristiani, kita menyadari bahwa dosa menyebabkan terjadinya perpecahan dan pertengkaran, sebaliknya di mana ada kebajikan di sana ada perdamaian. Roh Kudus membimbing gereja-Nya untuk senantiasa masuk lebih dalam menuju kebersatuan antara umat dan terlebih dengan Yesus Kristus. Gereja yang Satu ini terdiri dari :

a.       Pengakuan iman yang sama.

b.      Perayaan ibadat bersama dan sakramen-sakramen.

c.       Suksesi apostolik yang oleh tahbisan menegakkan kesepakatan sebagai saudara dan saudari dalam Kerajaan Allah.

2.      Kudus

Gereja menjadi Kudus karena Yesus Kristus adalah Kudus. Yesus telah mengasihi Gereja-Nya dan menyerahkan diri bagi Gereja untuk menguduskannya sehingga umat dipersatukan dengan Yesus menjadi Kudus. Pengudusan manusia di dalam Kristus merupakan tujuan semua karya di dalam Gereja.

3.      Katolik

Bersifat umum dan menyeluruh serta tersebar di seluruh dunia sehingga mencakup semua dan keanggotaanya tidak didasarkan pada suku, bangsa dan warna kulit. Gereja katolik ini terdiri dari gereja barat dan gereja timur. Mengembangkan diri dalam tradisi, teologi dan liturgi termasuk juga bentuk spiritualnya masing-masing.

4.      Apostolik

Didirikan atas para rasul dan saksi-saksi yang dipilih dan diutus oleh Tesus Kristus sendiri.  Gereja adalah apostolik karena menjaga dan meneruskan ajaran para Rasul dalam bimbingan Roh Kudus.[3] Gereja katolik mementingkan hubungan historis, turun-temurun, antara para rasul dan pengganti mereka, yaitu para uskup. Oleh karena itu, dalam hal ajaran dan eksistensinya pada kitab suci melainkan juga pada Tradisi Suci dan Magisterium Gereja sepanjang masa.[4]

Secara umum, gereja katolik merupakan sebuah komunio (persekutuan) dari gereja katolik ritus barat dan 23 Gereja katolik timur, yang membentuk 2.795 keuskupan. Sebagaimana diajarkan oleh konsili vatikan II, gereja katolik memiliki tujuan menjadi sakramen atau tanda dan sarana keselamatan Allah bagi dunia. Gereja katolik telah berkontribusi bagi kecerdasan, kualitas hidup dan peningkatan sumber daya manusia tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan melalui pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, rumah sakit, panti asuhan dan berbagai macam lembaga kemanusiaan lainnya.

Dalam konteks multikulturalisme, dari zaman para rasul hingga saat ini gereja katolik telah mengalami banyak persoalan. Hal tersebut ditandai dengan adanya perpecahan Gereja timur dan gereja barat sampai pada reformasi protestan. Munculah adagium extra ecclesia nulla salus (diluar gereja katolik tidak ada keselamatan). Pada saat itu, gereja katolik menganggap diri superiori atas agama-agama serta gereja-gereja lain dan atas kebudayaan-kebudayaan lainnya.

 Namun ada satu momentum penting yang merubah cara pandang Gereja Ka  tolik tentang dirinya dalam hubungan dengan dunia, agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan. Momentum tersebut adalah Konsili Vatikan II, yang berlangsung dari tahun 1962- 1965. Dalam konsili ini Gereja Katolik mengadakan pembaharuan tentang hakekat dan tujuannya. Ada dua kata penting yang digunakan selama konsili, yakni ressorcement dan aggiornamento.

Ressourcement adalah kata bahasa Perancis yang berarti “kembali ke sumber” yang dapat dipertanggungjawabkan tentang iman Kristiani untuk menemukan kembali kebenaran dan artinya serta diwujudkan dengan mengacu pada perbendaharaan iman, yaitu Kitab suci, Tradisi suci, Magisterium gereja, dokumen dari konsili-konsili, termasuk katekismus gereja katolik, tulisan dari para santo-santa dan paus serta kitab hukum kanonik dapat menjadi acuan dalam pengajaran sehingga dapat tersampaikan dengan jelas.[5] Sedangkan aggiornamento adalah kata Italia, yang secara bebas dapat diartikan dengan “penyesuaian dengan zaman”. Hal ini ditandai dengan dibukanya jendela pada basilica St. Petrus agar udara segar berhembus ke dalam Gereja. Kemudian dengan menghadirkan para pembicara dari lintas agama dan bahkan ateis, para bapa konsili diajak menemukan cara baru untuk merumuskan kembali penegasan- penegasan fundamental tentang iman Kristiani, agar Injil dapat diwartakan lebih bermakna dan berdaya guna sesuai dengan keadaan zaman.

B.     Pandangan Gereja Katolik Terhadap Multikulturalisme

Dalam kitab suci memang tidak ditemukan mengenai kata “multikulturalisme”, akan tetapi gereja katolik menaruh rasa hormat pada agama dan juga kebudayaan lain. Hal tersebut tentunya tidak lepas dari pandangan alkitabiah yang terdapat dalam kerangka teologi katolik. Dalam konteks multikulturalisme, gagasan teologi yang digunakan adalah ajaran tentang inkarnasi (Allah menjadi manusia dan tinggal diantara manusia), Allah yang tinggi luhur dan melampaui budaya manusiawi rela menjadi manusia, terikat pada konteks manusia dan menggunakan pula budaya manusiawi.

Secara etimologis inkarnasi berasal-usul dari bahasa latin, yaitu in yang berarti “masuk ke dalam” dan carne, yang berarti “daging”. Secara harfiah, kata inkarnasi menunjuk pada Yesus, yang masuk ke dalam daging, dikandung oleh Santa Maria dan kemudian menjadi manusia sama seperti kita. Secara teologis, dalam ajaran inkarnasi, Yesus Kristus adalah Roh Allah (dimensi Ilahi) yang menerima kemanusiaan (dimensi manusiawi) demi keselamatan umat manusia (Luk 1, 35). Dalam konteks ini Yesus Kristus disebut sebagai Imanuel, yang berarti Allah beserta kita.Dalam ajaran inkarnasi ini pula Yesus dikenal sebagai Sang Sabda (Logos) yang menjadi manusia seutuhnya dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa (Fil 2, 10- 11). Yohanes menulis dalam Injilnya, “Sabda menjadi daging dan tinggal di antara kita” (Yoh 1, 12, 13; 1, 1-3).

Dalam inkarnasi ini manusia memiliki nilai yang tinggi di antara semua yang diciptakan. Karena manusia luhur dan berharga, maka Allah berkenan menjadi manusia. Allah memilih menjadi sosok manusia untuk menyelamatkan manusia dan mendatangkan rahmat bagi seluruh semesta. Proses penyelamatan manusia terus berlanjut. Allah tidak hanya menjadi manusia. tetapi Ia tinggal di dalam diri manusia. Inilah yang kemudian terjadi dalam peristiwa Pantekosta. Kenyataan ini dapat dijelaskan demikian: jika dalam inkarnasi Allah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus, maka dalam peristiwa Pantekosta manusia yang percaya kepada Kristus diangkat masuk dalam kodrat Ilahi melalui pencurahan Roh Kudus. Artinya, manusia yang fana ini diilahikan, sehingga janji Yesus dapat tergenapi, “dimana Aku berada di situpun kamu akan berada”.

Kembali pada ajaran inkarnasi, ketika Allah menjadi manusia dalam diri Yesus, Ia hidup dalam konteks kemanusiawian. Dalam berkomunikasi Yesus menggunakan bahasa Aram. Ia pun hidup menurut adat-istiadat Yahudi. Ia makan dan minum sebagaimana yang dimakan dan diminum oleh orang Yahudi. Bahkan Ia memahami dengan baik tabiat bangsanya, tabiat para ahli Taurat-orang Farisi dan ketidaksukaan orang-orang sebangsanya terhadap orang-orang Samaria. Dengan bahasa yang dipahami oleh murid- murid dan orang-orang yang mengikuti Dia, Yesus mulai mengajarkan tentang cinta kasih sebagai ajaran yang utama. Bahkan tahap demi tahap, Yesus mulai mengajarkan bahwa Diri-Nyalah sebagai inti iman dan pedoman untuk hidup kekal. “Akulah jalan, kebenaran dan hidup”.

Konsekuensi dari teologi inkarnasi ini melahirkan inkulturasi dalam Gereja Katolik. Gereja katolik menemukan pembenaran dalam membangun dialog dengan unsur-unsur kebudayaan setempat, meskipun di pihak lain Gereja Katolik mempertahankan unsur-unsur liturgi yang fundamental demi mempertahankan universalitas dan kesatuan Gereja. Inkulturasi sesuai arti katanya berarti in, “masuk ke dalam” dan cultural, “budaya”. Bagi Gereja Katolik, inkarnasi berarti Allah menyapa dan membangun relasi dengan manusia. Supaya sapaan Allah ini bermakna bagi manusia, Allah menggunakan bahasa manusiadan manusia menjawabnya dengan bahasa dan kebudayaannya. Dengan demikian, inkulturasi itu terjadi ketika orang-orang dalam lingkup bahasa dan kebudayaan tertentu menerima sapaan Allah melalui bahasa dan kebudayaan yang dihayati oleh mereka. Dalam arti ini liturgi dirayakan dengan citarasa lokal.

Proses inkulturasi ini hanya terjadi bila ada kedewasaan iman dan ada pula penyortiran atas unsur-unsur budaya lokal. Tidak semua unsur-unsur budaya sejalan dengan iman dan ajaran kristiani. Karena itu, hanya unsur-unsur yang sejalan saja yang kemudian dipraktekkan. Dalam arti inilah iman dihayati dalam kebudayaan tertentu dan senantiasa mendapat bentuk yang baru. Bagi Gereja Katolik, kebudayaan dalam zaman tertentu adalah lahan dimana Tuhan telah mempersiapkan orang-orang setempat bagi penerimaan akan Yesus Kristus. Di sini berlaku prinsip teologi gratia supponit naturami yang artinya rahmat Allah bekerja melalui bakat-bakat dan proses alamiah yang tersedia dalam diri setiap orang dan di dalam setiap kebudayaan. Dengan demikian kebudayaan adalah juga buah karya Allah yang melaluinya, orang dimampukan untuk menerima Kristus dan menghayati amanat Injil. Ibaratnya, kebudayaan terkadang seperti Yohanes Pembaptis yang mempersiapkan orang menyambut Kristus.

Kebudayaan dengan segala unsurnya adalah sarana untuk menghayati iman, mengamalkan Injil dan merayakan liturgi. Teologi inkarnasi dan konsekwensinya pada litugi yang inkulturatif telah membuat Gereja dari hakikatnya bersifat dialogis dan hidup berdampingan dengan budaya dan agama manapun juga. Dengan demikian, Gereja Katolik seharusnya tidak memiliki persoalan serius dalam hal hidup dengan aneka budaya lokal. Gereja Katolik memiliki tiga prinsip yaitu:

1.      in principiis unitas (satu di dalam hal-hal prinsip, misalnya dalam ajaran tentang Kristus, tentang Tritunggal, tentang iman),

2.      in dubiis libertas (dalam hal-hal yang terbuka, bebas menentukan pilihan).

3.       in omnibus caritatis (dalam segala hal harus ada kasih).

Segala prinsip ini seharusnya dapat menghantar umat katolik agar  memiliki karakter dialogis dan berwawasan multikultural. Hal ini yang secara kongkrit tampak dalam diri Paus Fransiskus dan Uskup Petrus Kanisius Mandagi, yang terus menyuarakan perdamaian, dialog dan hubungan saling menghormati dengan siapa pun, tanpa memandang suku, agama, ras dan golongan. Meskipun demikian, harus diakui juga bahwa ada pula umat katolik yang masih saja kaku atau bahkan radikal. Untuk mereka, perlu diadakan pendekatan dan upaya pendidikan terus-menerus.

C.      Multukulturalisme Dalam Dokumen Gereja Katolik

Beberapa dokumen Gereja Katolik (magisterium) yang menerangkan relasi terbuka dan sederajat antara Gereja Katolik dan agama-agama serta kebudayaan lain. Magisterium adalah nama untuk menjelaskan kuasa mengajar Gereja Katolik. Kuasa ini pertama-tama ada dalam diri Paus sebagai uskup Roma, yang adalah representasi Gereja Universal. Selain itu ada pula konferensi para uskup di setiap benua, konferensi tingkat nasional dan masing-masing uskup di Keuskupannya. Setiap uskup memegang kewibawaan rasuli dalam mengajar dan menggembalakan umatnya dalam kesatuan dengan para uskup lain dan Uskup Roma.

Dokumen Konsili Vatikan II, “Gereja di sepanjang zaman dan dalam berbagai situasi telah memanfaatkan sumber-sumber aneka kebudayaan, untuk menyebarluaskan dan menguraikan pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin menyelaminya, serta untuk mengungkapkan secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam kehidupan jemaat beriman yang beranekaragam”.[6] Dokemen Deus Caritas Est art.9, Paus Benediktus XVI menyatakan bahwa “Allah yang diyakini tersebut tidak diklaim sebagai satu-satunya Allah milik umat kristiani. Semua umat beragama, bahkan mereka yang tidak bergabung dalam komunitas agama mana pun, bebas menerima Allah yang satu itu sebagai Allahmereka”.

Dokumen Federation of Asian Bishops’ Conferences, dalam pertemuan FABC di Hongkong pada bulan April 1990: “Di Asia, Gereja setempat mewujudkan diri dengan menjalin hubungan-hubungan baru dengan sesama yang menganut iman kepercayaan lain, serta dengan melibatkan diri dalam pokok-pokok kepedulian mengenai keadilan, martabat manusiawi dan hak-hak azasi manusia, dan dalam pelaksanaan kongkrit prioritas cinta-kasih yang mengutamakan kaum miskin”.

Hasil Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia, “Gereja Katolik harus terus membuka diri, membangun dialog dengan agama-agama lain. Dialog ini penting untuk membangun sikap saling mengenal satu sama lain, meruntuhkan berbagai kecurigaan dan mengikis fanatisme. Dengan dialog, Gereja Katolik di Indonesia harus meneruskan misi Tuhan, yakni merobohkan tembok-tembok pemisah dan membangun jembatan persahabatan dengan semua orang demi terwujudnya persaudaraan sejati yang mengarah pada hidup bersama, yang lebih damai dantenteram”.

Gereja tidak hidup bagi dirinya sendiri. Gereja kita adalah Gereja yang terbuka dan senantiasa merasa punya tanggung-jawab untuk memulihkan persekutuan manusiawi dalam masyarakat. Mengikuti teladan Kristus,Gerejamerasa terutus untuk membangun persaudaraan manusiawi secara universal dengan merobohkan dinding-dinding pemisah yang didirikan oleh keserakahan, kesombongan, diskriminasi sosial yang berat sebelah dan bahkan oleh dostorsi- distorsi keagamaan. Gereja bertekad untuk bersama masyarakat membangun persekutuan dimana setiap orang dari segala suku serta dari agama yang berbeda- beda dapat saling menyapa sebagai saudara”.

D.     Pandangan Umat Katolik Terhadap Multikulturalisme

Dengan semangat multikulturalisme, umat Katolik diharapkan memiliki sikap-sikap sebagai berikut:Dapat menghargai dan dapat menerima seseorang tanpa harus melihat latar belakangnya, seperti: suku, budaya, adat istiadat, kebiasaan, cara pandang, cara berpikir dan agama yangberbeda. Dapat menolong antar sesama dan memperlihatkan serta menunjukan solidaritas kepada semua orang tanpa melihat latar belakangnya. Karena untuk menolong, orang harus didasari oleh ke ikhlasan. Jangan pernah memandang remeh orang-orang yang berbeda suku, budaya, adat istiadat, kebiasaan, cara pandang, cara berpikir dan agama yang berbeda.

Tetap berfikir positif terhadap semua orang tetapi harus tetap kritis terkait tindakan- tindakan maupun peristiwa yang memang tidak sesuai dengan ajaran dan norma pada umumnya. Menjadikan hukum kasih sebagai landasan dan pedoman dalam pergaulan dengan semua orang dan jangan sampai ada perselisihan karna adanya perbedaan latar belakang.

Uraian di atas telah memperlihatkan prinsip-prinsip yang dipegang oleh Gereja Katolik dalam relasinya dengan dunia yang ada di sekitarnya. Gereja Katolik berprinsip bahwa Allah telah menciptakan manusia untuk saling mengisi dan melengkapi, sehingga umat dapat memiliki kesadaran multikultur terhadap segala perbedaan di dalam berbagai suku, budaya, adat, kebiasaan serta geografis yang berbeda-beda. Gereja yang multikultur adalah Gereja yang mampu menerima segala perbedaan, karena sebenarnya nilai-nilai positif yang dimiliki oleh budya dan suku dapat memperkaya liturgi di dalam ibadah.[7] Gereja Katolik senantiasa mendorong umat beriman untuk menghindari sikap-sikap yang tidak mencerminkan ajaran Gereja dan ajaran Alkitab, seperti primordialisme, etnosentrime, diskriminatif dan stereotip, sebaliknya mulai untuk menanamkan kebersamaan, solidaritas, kerjasama dan hidup berdampingan secara damai di dalam perbedaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

BAB III

PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

Setelah melakukan pembahasan terkait nilai nilai pendidikan katholik mengenai multikulturalisme bahwa Gereja Katolik berprinsip Allah telah menciptakan manusia untuk saling mengisi dan melengkapi, sehingga umat dapat memiliki kesadaran multikultur terhadap segala perbedaan di dalam berbagai adat, suku dan budaya serta geografis yang berbeda-beda. Gereja yang multikultur adalah Gereja yang mampu menerima segala perbedaan, karena nilai-nilai positif yang dimiliki oleh suku dan budaya dapat memperkaya liturgis dalam ibadah. Gereja Katolik senantiasa mendorong umat beriman untuk menghindari sikap-sikap yang tidak mencerminkan ajaran Gereja dan ajaran Alkitab, seperti primordialisme, etnosentrime, diskriminatif dan stereotip, sebaliknya mulai untuk menanamkan kebersamaan, solidaritas, kerjasama dan hidup berdampingan secara damai di dalam perbedaan.

 

B.     Saran

Pentingnya pendidikan katholik mengenai multikultural yaitu untuk memperhatikan dan menghargai perbedaan disekitar kita. Harapannya semoga umat katholik bisa menghindari sikap sikap yang tidak mencerminkan ajaran gereja dan ajaran alkitab.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Indrawan Irjus, Wijoyo H, Winditya H, Utami B.W, Siregar C, Suherman. 2020. Filsafat Pendidikan Multikultural. Banyumas: CV. Pena Persada.

Katolisitas.org. Apakah Semangat Dari Sistem Katekese Ini?. https://www.katolisitas.org/unit/apakah-semangat-dari-sistem-katekese-ini/, 18 Oktober 2022.

Wijayanti, Pristanti Dwi. 2019. Sikap Multikulturalisme Siswa Sekolah Katolik Dan Siswa Sekolah Madrasah Di Jakarta. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/17979/2/T1_802014107_Full%20text.pdf. 16 Oktober 2022.

Refo, Ignasius S.S. 2018. Multikulturalisme Dalam Pandangan Gereja Katolik. Hal.8

Tarigan, J. (2007). Religiositas, agama & Gereja Katolik. Indonesia: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Tilaar, H. A. R, 2004 Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Gramedia Widiasarana Indonesia.

 



[1] Tilaar, H. A. R, Multikulturalisme: Tantangan-Tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004)

[2] Pristanti Dwi Wijayanti, Sikap Multikulturalisme Siswa Sekolah Katolik Dan Siswa Sekolah Madrasah Di Jakarta, diakses dari https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/17979/2/T1_802014107_Full%20text.pdf, pada tanggal 16 Oktober 2022, pukul 0.04 WIB.

[3] Tarigan, J, Religiositas, Agama & Gereja Katolik. (Indonesia: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2007)

[4] Indrawan Irjus, dkk, Filsafat Pendidikan Multikultural. (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020)

[5] Katolisitas.org, Apakah Semangat Dari Sistem Katekese Ini?, diakses dari https://www.katolisitas.org/unit/apakah-semangat-dari-sistem-katekese-ini/, pada tanggal 18 Oktober 2022, pukul 21:04.

[6] Irjus Indrawan, dkk. Filsafat Pendidikan Multikultural. (Banyumas: CV. Pena Persada, 2020).

[7] Refo, Ignasius S.S. Multikulturalisme Dalam Pandangan Gereja Katolik. (2018). Hal.8

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

JANGAN-KLIK