1-IRPAN-ILMI

Klik Info Ini...!

Full width home advertisement

irpan-ilmii

My Journey

Rise Your Hand

Post Page Advertisement [Top]

irpan-ilmii

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Pendidikan merupakan bidang dari sekian banyak bidang yang begitu menentukan dalam tolak ukur majunya sebuah Negara. Indonesia ialah salah satunya yang memiliki banyak sekali macam agama, bahasa, ras, suku, adat dan lain-lain. Keanekaragaman seperti inilah yang menjadikannya sebagai Negara yang plural. lewat jalur pendidikan, semua perbedaan tadi bisa digabungkan dan disatukan supaya tidak ada yang namanya diskriminasi lalu menyudutkan pihak satu kepada pihak lainnya sehingga pembangunan Indonesiapun jadi terhambat. Pada dasarnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang sangat menghargai adanya keberagaman dan perbedaan. Pendidikan ini selalu menciptakan proses yang tersetruktur dimana tiap-tiap kebudayaan bisa mengeluarkan ekspresinya. Namun untuk mendesain hal ini secara praktik, itu tidaklah mudah. Setidaknya kita berusaha mencoba mengambil ijtihad untuk memolakan sesuai dengan dasar dan prinsip-prinsip di dalamnya. Gagasan pemolaan sekaligus pengembangan pendidikan multikultural ini sendiri sebenarnya sudah ada sejak dahulu di kawasan Eropa, Amerika dan negara-negara maju lainnya. Dan seiring berjalannya waktu, pendidikan ini menjadi sebuah studi tersendiri dan khusus tentang keberagaman yang pada mulanya bertujuan supaya populasi mayoritas dapat bersikap toleran dan tenggang rasa terhadap para imigran baru. Pengalaman pendidikan multikultural dari eropa tersebut akhirnya juga sampai di Indonesia yang saat itu masih bernuansa kerajaan-kerajaan, bahkan berlangsung hingga saat ini. Berikut sekelumit perjalanan sejarah dari pendidikan multikultural.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Munculnya Pendidikan Multikultural

 

Pendidikan multicultural adalah tema yang sangat baru dalam dunia pendidikan. Sebelum peristiwa Perang Dunia ke II, bisa dikatakan pendidikan tersebut belum banyak diketahui orang. Bahkan pendidikan ini digunakan sebagai alat politik untuk memberlangsungkan kekuasaan yang tengah memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu karena selalu menyangkut HAM, kemerdekaan dari penjajahan, diskriminasi rasial dan lain-lain. Jadi bisa dikatakan pendidikan multikultural ialah gejala yang sangat baru dalam pergaulan umat manusia ketika meraka mendambakan persamaan hak, salah satunya adalah hak untuk memperoleh pendidikan yang sama bagi semua orang.

Menurut koentjaraningrat, pendidikan multicultural merupakan sebuah ilmu pengetahuan sehingga mengalami metamorfosa tahapan yang berkembang dan terdiri dari empat fase, yaitu :

1.     Sebelum tahun 1800-an yakni Sekitar abad ke 15-16, banyak sekali bangsa eropa yang mulai berlomba untuk menjelajahi luasnya dunia. Mulai dari benua australi, asia, amerika, hingga afrika. Dalam perjalananya yang jauh tersebut, mereka banyak mendapati dan menemukan hal-hal yang baru. Mereka juga banyak sekali menjumpai para suku yang begitu asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan, penjelajahan dan penemuan mereka di catat sekaligus ditulis ke dalam buku harian ataupun jurnal kehidupan. Merekapun mencatat ciri-ciri kebudayaan, fisik, bahasa, dan susunan masyarakat dari suku tersebut yang biasa disebut dengan bahan etnopografi karena Pada abad ke 19 ketertarikan bangsa eropa dengan etnografi sangat banyak dan meningkat.

2.     Pada tahun 1800-an Bahan etnografi tadi sudah di susun menjadi karya sekaligus karangan bedasarkan cara berfikir evoluasi masyarakat pada masa itu. Masyarakat dan kebudayaan pun secara perlahan-lahan berevolusi dalam jangka waktu yang sangat lama.

3.     Di awal abad ke 20 Eropa mulai berkembang dengan membangun kerja sama koloni di amerika, afrika dan asia. Dalam rangka hal tersebut eropa jadi mau mempelajari bahan- bahan etnografi yang berisi tentang kebiasaan, kebudayaan dari sukubangsa lainya demi kepentingan pemerintah kolonial.


4.     Setelah tahun 1930-an, Ilmu multikulturalpun jadi berkembang sangat cepat, sehingga membuat seolah-olah sukubangsa asli hilang dari penerapan budaya bumi eropa.

Sementara itu, H. A. R. Tilaar menyebutkan setidaknya ada beberapa elemen kekuasaan di dunia ini yang telah melahirkan pendidikan multikultural, diantaranya :

1.     Proses Demokratisasi dalam Masyarakat

Sekalipun paham demokrasi sudah seumuran dengan kehidupan manusia di dunia ini, tapi implementasinya masih suka terhambat, dan juga tidak merata ke dalam kehidupan manusia. Kehidupan manusia di dalamnya itu terdapat kelompok yang menganggap dirinya memiliki hak lebih istimewa termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan berbeda yang tidak bisa di nikmati kelompok lainnya. Sehingga dengan demikian akan ada kelompok dalam masyarakat yang tersisihkan dalam pendidikannya.

Perjuangan untuk mendapatkan hak pendidikannya dari kelompok yang tersisihkan adalah usaha yang besar dalam melawan opresi penjajahan. Operasi tersebut terjadi di negara demokrasi maupun totaliter yang mana di dalamnya terdapat perbedaan perlakuan kepada kelompok masyarakat tertentu. Hal itu disebabkan adanya perbedaan ideologi, ras, suku, etnik, dan yang lainnya. Contohnya peristiwa yang dulu terjadi di Afrika Selatan yang mengasingkan antara kelompok berkulit putih dari kulit hitam dengan hak-hak istimewanya diantaranya pendidikan sehingga kelompok tersebut pun selalu disepelekan.

Oleh karena itulah, pendidikan multikulturalisme berjalan bebarengan dan selalu bergandengan dengan proses demokratisasi yang ada dalam kehidupan masyarakat. Proses tersebut tersebut dijadikan pemantik untuk memperoleh pengakuan hak asasi manusia lalu tidak membedakan bedakannya baik atas, agama, gender, dan warna kulitnya. Semua manusia diciptakan oleh Tuhan dengan kedudukan, martabat, dan posisi yang sama tanpa membandingkan dan mempertimbngkan itu semua.

2.     Pembangunan Kembali Sesudah Perang Dunia II

Setelah Perang Dunia ke II, perubahan yang besarpun terjadi di dalam tata kelola kehidupan antar bangsa.yang mendambakan akan pembangunan kembali puing-puing sudah hancur berkeping-keping di Eropa. Secara bersamaan dengan adanya pembangunan kembali di Eropa itulah yang pada akhirnya menjadi tanda bahwa kolonialisme itu telah tiada, maka lahirlah negara-negara baru, terkhusus yang paling banyak di Afrika.


Sedangkan penduduk eks koloni malah masuk ke negara Perancis dan Inggris dan menjadi pegawai-pegawai perusahaan yang dibutuhkan di sana. Migrasi penduduk inilah, dan khususnya migrasi pekerja, seiring berjalan nya waktu meminta perlakuan yang adil lagi berimbang untuk generasi mudanya dan menuntut pendidikan yang baik untuk mereka semua. Migrasi penduduk negara negara besar dunia bisa lebih cepat dan mudah disebabkan oleh kemajuan teknologi, dan transportasi udara, laut maupun darat.

3.     Lahirnya Paham Nasionalisme Kultural

Munculnya berbagai grup serta kelompok dari bangsa yang satu untuk berpindah dan bermukim di negara-negara lain yang maju lagi pesat, sehingga lama kelamaan mampu membentuk sesuatu kekuasaaan dan kekuatan tersendiri untuk menuntut hak-haknya selaku “warga negara” yang baru. Dari sinilah, kemudian lahir kelompok-kelompok sekaligus etnis baru yang mana mereka memiliki kebudayaannya masing-masing, sehingga bisa memberikan warna baru dalam kebudayaan tuan rumah yang sebelumnya lebih banyak bersifat homogen.

 

 

Pendidikan multicultural mulanya merupakan perkembangan dari kesadaran dan gagasan tentang “inter-kulturalisme” seusai Perang Dunia II. Hal ini sebagai konsep akan pemikiran yang tidak muncul hanya karena ada ruang kosong, tapi karena ada interestpolitik, ekonomi, sosial, dan intelektual yang mengarahkan kemunculannya. Bahkan selain itu juga menyangkut berbagai kepentingan lain seperti HAM, merdeka dari kebebasan, dan sebagainya disebabkan bertambah tinggi angka pluralitas di negara-negara Barat. Mempertimbangkan begitu banyaknya perkembangan ini, maka pada tahun sekitar 1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat berkembanglah pendidikan ini. pendidikan intercultural ini hakekatnya merupakan pendidikan lompatan budaya yang bertujuan memperkaya dan mengembangkan nilai-nilai universal agar dapat diterima di berbagai kelompok masyarakat yang berbeda .Maka UNESCOpun membuat beberapa pesan anjuran pada bulan Oktober 1994 di Jenewa, di antaranya yaitu :

1.     Pendidikan seharusnya mengembangkan potensi untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada didalam keanekaragaman baik jenis kelamin, ras, agama, masyarakat dan budaya serta menambah dan memperkaya kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain.


2.     Pendidikan semestinya memperkuat, mempertegar dan meneguhkan jati diri serta mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian-penyelesaian suatau masalah agar memperkokoh persaudaraan, solidaritas dan perdamaian antara individu dan masyarakat.

3.     Pendidikan hendaknya terus meningkatkan kemampuan dan kemauannya dalam menyelesaikan permasalahan dan konflik secara alami, damai dan tanpa kekerasan sehingga hal tersebut dapat menambah kedamaian dalam diri, pikiran para peserta didik. Dan dengan hal itulah, mereka bisa membangun dengan lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, dan keinginan untuk  berbagi serta memelihara

Sementara itu seiring dengan berkembangnya paham toleransi, HAM dan demokrasi diatas kelompok dan grup dari etnis baru mulai melebur ke dalam etnismainstream. Dengan begitu muncul dan bangkitlah paham nasionalisme baru yang tidak lagi hanya berkonotasi kepada etnis tapi lebih kepada pengertian kultural. Sehingga nasionalisme kultural menggantikan nasionalisme etnis, dan pendidikanpun jadi ikut terbuka untuk kebutuhan kelompok-kelompok yang baru, sekaligus mempersiapkan sudut pandang dan paradigma baru bagi grup dan kelompok mayoritas dengan kebudayaan mainstreamnya.

B. Pendidikan Multikultural di Negara-Negara Luar

 

Dari banyaknya gelombang perubahan tersebutlah hingga bisa melahirkan pendidikan multikultural di berbagai negara dengan berbagai coraknya masing-masing :

1.     Seperti di Amerika Serikat, perkembangan pendidikan multikultural yang bermula dari penghapusan satu generasi masyarakat dari warga negara Amerika yang statusnya berasal dari Afrika (American Afrika) sehingga ditolak dengan sangat keras oleh Gerakan Civil Rights yang dipelopori oleh Dr. Martin Luther King. Gerakan Civil Rights ini menjadi stimulus bagi lahirnya pendidikan multikultural lainnya selama dekade 70-an hingga abad ke-20.

2.     Gerakan demokratisasi pendidikan lainnya yang diimplementasikan dalam pendidikan multicultural Amerika akhirnya juga berimbas di negara sebelahnya yakni Kanada. pendidikan multikultural di negara Kanada mempunyai postur dan wajah yang berbeda karena sejak awal sebagian dari Kanada sudah mengenal budaya yang belainan, yaitu budaya dari Prancis di negara bagian Quebec sehingga dengan hal tersebut pendidikan disini lebih progresif ketimbang negara sebelah sekaligus tetangganya.


3.     Pendidikan multikultural di Negara Jerman dan Inggris muncul disebabkan adanya migrasi penduduk yang berbondong-bondong akibat pembangunan kembali Jerman setelah runtuhnya. Dari sinilah kebutuhan terhadap paradigma baru akan lahirnya pendidikan multicultural terhadap kelompok-kelompok etnis baru.

4.     Lalu ada juga pendidikan multikultural di Australia yang memperoleh momentum tepatnya dengan perubahan politik luar negri. Seperti diketahui bahwa Australia merupakan suatu negara yang relatif sangat tertutup bagi kelompok dan grup kulit berwarna lain. Pemerintah Australia-lah yang menyebabkan migrasi dari kelompok-kelompok suku dan etnis lain yang bukan hanya Eropa namun juga dari Asia seperti China, Vietnam, India, dan juga dari Indonesia.

C. Pendidikan Multikultural di Indonesia

 

Dari berbagai pengalaman negara yang ada di atas telah menerapkan praktik pendidikan multicultural, maka kita dapat mengambil dan memperoleh manfaatnya sebagai modal asas sekaligus dasar implementasi pendidikan multikultural di Indonesia. meski sudah kita sadari bahwa penerapan pendidikan multicultural pada negara-negara tersebut sifatnya akan lain bila dibandingkan dengan negara Indonesia. Implementasi pendidikan multikultural di negara luar sebagaimana yang tersebut diatas sangat bertentangan dengan budaya homogen, tetapi di Indonesia pendidikan multikultural bisa diterapkan dalam perspektif luas bangsa Indonesia yang pluralitas. Pandangan multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia sendiri dalam praktik berbangsa dan bernegara belum dijalankan secara maksimal. Lambang Bhinheka Tunggal Ika, yang mempunyai makna keanekaragamaan dalam persatuan yang nyata ternyata hanya ditekankan pada kesatuan nya saja dan mengabaikan adanya keaneka ragaman budaya dan masyarakat yang ada. Pada masa Orde Baru terlihat bagaiman hubungan masyarakat terhadap praktek hidup kenegaraan tersebut. Hasilnya masyarakat berkeinginan menampilkan


identitasnya sebagai masyarakat berbhineka yang selama Orde Baru telah dipaksa dan ditindas dengan berbagai cara hanya untuk menggerogoti persatuan bangsa. Disamping itu praktik pendidikan sejak kemerdekaan sampai era Orde Baru sudah menyepelekan dan mengabaikan kekayaan kebhinhekaan budaya Indonesia yang hakekatnya merupakan kekuatan dan tenaga dalam suatu kehidupan demokrasi.

Ketika presiden Suharto jatuh dari kekuasaannya, lalu diiringi dengan masa yang disebut era Reformasi, Indonesia telah mengalami krisis, moneter, ekonomi, politik, agama, disintregasi yang mengakibatkan terjadinya krisis kultural sangat dalam pada kehidupan bangsa dan negara. Pada era inilah pendidikan digunakan sebagai alat politik untuk memberlangsungkan kekuasaan yang memonopoli sistem pendidikan untuk kelompok tertentu. Namun saat itu pendidikan multikultural dirasa masih belum terlalu penting walaupun realitas agama dan kultur yang sangat bermacam-macam. Era reformasi berhembus sehingga angin demokrasipun mampu menghidupkan Kembali semangat wacana pendidikan multikultural sebagai tenaga dan kekuatan dari bangsa Indonesia. Dalam era ini, pastinya banyak sekali hal yang harus ditinjau kembali. Salah satunya yang penting dan mesti ditinjau ialah kurikulum dari semua tingkat dan jenis di sekolah, apakah sudah standar untuk mencapai sarana pengembangan multikultural. Selain problem tersebut, yang mesti juga ditinjau adalah tentang otonomisasi pendidikan yang diberikan secara khusus kepada daerah agar pendidikan bisa menjadi tempat bagi perkembangan keberagaman budaya Indonesia.

Ketika itu pendidikan multikultural bagi negara Indonesia memang sesuatu hal yang baru dimulai, dan masih belum memiliki pengalaman. Sementara itu otonomi daerahnya juga baru disampaikan. Sehingga diperlukanlah persiapan dan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan suatu bentuk yang sesuai dan pendekatan yang pas bagi pendidikan multikultural di Indonesia. Bentuk dan sistem yang pas dan sesuai untuk Indonesia bukan hanya memerlukan pemikiran intelektual akademik dan analisis budaya atas masyarakat Indonesia yang beragam dan pluralis, tetapi juga diperlukan adanya kerja keras dan tahan banting untuk melaksanakannya.

Untuk mewujudkan hal penting tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi dan kolaborasi model yang ada, sebagaimana yang diajukan Gorski yang mencakup tiga hal yaitu :


1.     transformasi diri

Pada kegiatan ini, pendidikan multicultural mestinya dapat mengarahkan peserta didik untuk mengubah pikiran dan mindset mereka terhadap pandangan etnosentrisme yang begitu sempit menjadi pandangan multikultralisme sebagai sebuah keniscayaan yang menjadi  anugerah dan kasih sayang dari Tuhan Yang Maha Esa

2.     transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, Pada kegiatan ini, pendidikan multicultural seharusnya menjadi prioritas utama dalam membangun sekaligus mengokohkan kebersamaan diantara berbagai macam perbedaan. Guru sebagai fasilitator dituntut untuk dapat mengarahkan lalu mendidik peserta didik kedalam bentuk pembelajaran yang memungkinkan terjadinya hubungan dialogis yang harmonis dalam mensikapi adanya perbedaan agama, budaya dan kultur.

3.     transformasi masyarakat.

Pada kegiatan ini, seharusnya mampu menciptakan tatanan Kelola masyarakat yang mengutamakan sebuah interaksi yang lurus lagi selaras dan seimbang dalam mensikapi adanya perbedaan. Masyarakat haruslah ikut mencair dan melebur ke dalam sebuah masyarakat kosmopolitan yang tidak terlalu memandang akan sikap antipati ketika berinteraksi dengan kelompok lain, saling menghargai akan adanya keanekaragaman dalam stuktur sosial masyarakat dan dominansi suatu kelompok terhadap kelompok lainnya.

 

E. Kebudayaan

1.      Penegertian Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata LatinColere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh.budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif.

Sedangkan secara terminologi budaya adalah suatu hasil dari budi dan atau daya, cipta, karya, karsa, pikiran dan adat istiadat manusia yang secara sadar maupun tidak, dapat diterima sebagai suatu perilaku yang beradab.

Menurut Koenjaraningrat, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, bentuk jamak dari buddi yang diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.

Menurut Ki Hajar Dewantara, kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.

Manusia dalam kehidupannya memiliki tiga fungsi,sebagai makhluk Tuhan, individu dan sosial budaya,yang saling berkaitan dimana kepada Tuhan memiliki kewajiban untuk mengabdi pada Tuhan, sebagai individu harus memenuhi segala kebutuhan pribadinya dan sebagai makhluk sosila budaya harus hidup berdampingan dengan orang lain dlam kehidupan yang selaras dan saling membantu. Sebagai makhluk sosial manusia akan hidup bersama dengan manusia lain yang akan melahirkan suatu bentuk kebudayaan. Karena kebudayaan itu sendiri diperoleh manusia dari proses belajar pada lingkungan juga hasil pengamatan langsung. Kebudayaan itu dapat diterima dengan tiga bentuk:

a.       Melalui pengalaman hidup saat menghadapi lingkungan.

b.      Melalui pengalaman hidup sebagai makhluk sosial.

c.       Melalui komunikasi simbolis (benda ,tubuh, gerak tubuh, peristiwa dan lain yang tahu sejenis).

2. Wujud kebudayaan

Talcot Persons dan A.L Krober membedakan wujud budaya sebagai suatu sistem dari gagasan-gagasan serta konsep-konsep dan wujud budaya manusia sebagai rangkaian dan aktivitas manusia. Menurut Koentjaraningrat (1981), kebudayaan mempunyai 3 wujud yaitu :

a.       Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

b.      Wujud kebudayaan sebagai suatu komleks aktivitas berpola dari manusia dan masyarakat.

c.       Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

d.      Berdasarkan wujudnya kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua komponen yaitu :

1.      Kebudayaan Material Kebudayaan material mengacu pada semua ciptaan masyarakat yang nyata, konkret.

2.      Kebudayaan nonmaterial Kebudayaan nonmaterial adalah ciptaan-ciptaan abstrak yang diwariskan dari generasi kegenerasi, misalnya dongeng, cerita rakyat , lagu dan tarian masyarakat.

3. Fungsi kebudayaan

Menurut ahli Antropologi Amerika Ralph Linton menganggap bahwa kebudayaan adalah warisan sosial yang mempunyai dua fungsi yaitu sebagai fungsi bagi penyesuaian diri dengan masyarakat dan fungsi bagi penyesuaian diri dengan lingkungan. Masyarakat dan budaya saling bergantung satu sama lain. Implementasi penyesuaian diri antara masyarakat dan kebudayaan berlangsung dalam proses-proses sebagai berikut:

a.       Sosialisasi

Sosialisasi adalah proses interaksi terus menerus yang memungkinkan manusia memperoleh identitas diri serta memperoleh ketrampian sosial.

b.      Enkulturasi

Enkulturasi artinya pembudayaan, maksudnya adalah proses membudayakan anak manusia agar menjadi manusia yang berbudaya.

c.       Internalisasi

Internalisasi adalah proses penerimaan dan menjadikan warisan sosial (pengetahuan budaya) sebagai isi kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku sehari-hari selama hayat dikandung badan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A. KESIMPULAN

Pendidikan multicultural adalah tema yang sangat baru dalam dunia pendidikan. Sebelum peristiwa Perang Dunia ke II, bisa dikatakan pendidikan tersebut belum banyak diketahui orang. Menurut koentjaraningrat, ada empat tahapan yang membuatnya menjadi ilmu pengetahuan, yaitu

1.     Sekitar abad ke 15-16, bangsa eropa melakukan perjalanan dan menemukan berbagai macam suku dan kebudayaan lain sehinggan menuliskannya pada catatan untuk bahan.

2.     Pada tahun 1800-an Bahan setnografi sudah jadi karya tapi masih butuh waktu untuk mempelajarinya

3.     Di awal abad ke 20 Eropa terpaksa belajar demi pemerintahan koloni

4.     Setelah tahun 1930-an, Jadi berkembang sangat cepat dan melebur

Sementara itu, H. A. R. Tilaar menyebutkan munculnya pendidikan tersebut karena tiga proses yaitu : Proses Demokratisasi dalam Masyarakat, Pembangunan Kembali Sesudah Perang Dunia II, dan Lahirnya Paham Nasionalisme Kultural. Proses-proses tadi berkaitan dengan interestpolitik, ekonomi, sosial, dan intelektual. Bahkan selain itu juga menyangkut HAM, merdeka dari kebebasan, dan kepentingan lain-nya.

Maka dari situlah UNESCO membuat beberapa anjuran di jenawa pada tahun 1944 yaitu : Pendidikan mestinya menerima nilai-nilai keanekaragaman, Pendidikan harusnya meneguhkan jati diri serta mendorong konvergensi gagasan, dan Pendidikan harus mampu menyelesaikan konflik dengan damai. Seiring berjalanya pesan tersebut semakin meluaslah pendidikan multicultural di berbagai negara dianataranya, Amerika, Kanada, Inggris, Jerman, Australia dan tak terkecuali Asia. Pada saat yang sama Indonesia pun terkena dampaknya pada masa awal kemerdekaan sampai dengan masa kekuasaan pak soeharto dengan masuknya berbagai migrasi dari luar meski semboyan nya Bhineka tunggal ika, keanekaragamaan dalam persatuan yang nyata ternyata hanya ditekankan pada kesatuan nya saja dan mengabaikan adanya keaneka ragaman budaya dan masyarakat yang ada sehinggan pembangunan bangsa Indonesia pun terhambat.

Saat orde baru mulai runtuh dan kekuasaan bisa diambil maka Era reformasi berhembus sehingga angin demokrasipun mampu menghidupkan Kembali semangat wacana pendidikan multikultural sebagai tenaga dan kekuatan dari bangsa Indonesia sekalipun hal ini adalah sesuatu yang baru dimulai, dan masih belum memiliki pengalaman sehingga harus persiapan dan waktu


yang cukup lama untuk mendapatkan suatu bentuk dalam mengimplementasikan pendidikan multikultural yang sesuai dan pendekatan yang pas bagi bangsa dan negara Indonesia Itu sendiri karena multikultural tiap negara tidaklah sama sehingga di berbagai negara memiliki coraknya masing-masing. Namun setidaknya Indonesia perlu memakai kombinasi dan kolaborasi model dari Gorski tentang transformasi diri, sekolah sekaligus proses belajar mengajar dan transformasi masyarakat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

 

 

                                                                                                                   

DAFTAR PUSTAKA

 

Amrin, Tatang M. 2012. Implementasi Pendekatan Pendidikan Kontekstual berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. 1 (1). 1-16

Ibrahim, Ruslan. 2008. Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama. El-tarbawi : Jurnal Pendidikan Islam. 1 (1). 115-127

Khairuddin, Ahmad. 2018. Epistemologi Pendidikan Multikultural Di Indonesia. Ijtimaiyah. 2 (1).

1-19

Nurcahyono, Okta Hadi. 2018. Pendidikan Multikultural Di Indonesia: Analisis Sinkronis Dan Diakronis. Habitus: Jurnal Pendidikan, Sosiologi dan AntropologiVol. 2 (1). 105-115

Rosyada, Dede. 2014. Pendidikan Multikultural Di Indonesiasebuah Pandangan Konsepsional.

Sosio Didaktika. 1 (1 ). 1-12

Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta : DepDikNas

Yaqin, M.Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media

 

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

JANGAN-KLIK