Tulisan saya kali ini dari Seno
Gumira Ajidama dalam bukunya “Ketika Juranlisme Dibungkam Sastra Harus
Bicara”. Tulisannya sepert ini
Menulis Adalah Melihat Ke Luar Jendela
Menulis adalah proses memindahkan
Apa pun yang menaraik bagi penulisnya
Kesebuah tulisan
Apa yang disebut “menarik”
Bisa saja “Sangat tidak menarik”
Bagaimanapun
juga, menulis ada proses kreatif yang dihaturkan oleh penulisnya dari
dalam jiwa dengan kesungguhan hati. Dalam hal ini, Jurnalisme selaku
bagian dari tulis-menulis adalah menuangkan fakta yang sesungguhnya dari
realita kehidupan, tentu kita sadari fakta-fakta yang ada bisa
dimanipulasi, diembargo, atau ditutup dengan tinta hitam. Rekat
hubungannya dunia jurnalisme dengan perpolitikan yang kadang dibumbui
dengan dunia bisnis. Bukan berarti sastra tidak seperti itu, namun pada
kenyataannya sastra mampu memanipulasi keadaan nyata dalam bentuk kiasan
tanpa menghilangkan pesan kesan bahkan kebenaran dari senyatanya.
Sastra
merupakan olah visi dalam pikiran manusia, di transpormasikan tidak
hanya berhenti dalam tanah dan kertas- alat tulis jawa kuno- maupun
disket, cd dalam bentuk kontemproler. Lebih dari itu, visi dalam kepala
tentu akan terus menerus membicarakan kebenaran dalam bentuk apapun,
sejatinya sastra ada dalam pikiran manusia. Bagan dari sastra itu
sendiri cukup banyak jenisnya. Salah satu yang akan kita bicarakan dalam
tarap awal tulisan ini adalah cerpen (Cerita pendek). Seringkali kita
menemukan cerpen di korang mingguan, tepatnya dihari minggu (Cerita
pendek dalam masa serba pendek), dalam analisis saya hal itu menunjukan
nasib cerpen yang hanya terpojok di hari minggu.
Berbicara
cerpen di hari minggu, hal itu karena cerpen dalam dunia industri
penerbitan seperti koran hanya termaktub di hari minggu. Padahal kita
bisa menemukan cerpen setiap saat tidak hanya di hari minggu.
Pertanyaannya, adakah cerpenis memiliki hubungan dengan dunia
perindustrian? Atau sebaliknya?
Jawaban dari itu pasti ada, bahkan dijawab oleh pakar filsafat manusia, namun perlulah kita mengetahui pemisahannya:
- 1. Tuduhan; seorang cerpenis akan menjual mimpi. Dengan alasa “Hiburan”
- 2. Sisi ideal; seorang cerpenis, bisa jadi menggebuk dunia perindustrian.
Kaitannya dengan ini, seorang dokter sastra yang cerpenis, pernah menggugat balai pustaka:
Untuk
membuat roman perlu waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun,
disamping itu untuk membaca roman perlu waktu yang sangat luang, dan
jaman sekarang orang-orang disibukan dengan segudang aktivitasnya.
Sedangkan cerpen, bisa dibuat dalam kurun waktu beberapa hari, bahkan
beberapa jam, dan bisa dinikmati ketika menunggu kereta tiba, dsb.
Simpulan Budi Darma: pemikiran diatas telah memojokan cerpen bukan
sebagai bentuk sastra atau genre akan tetapi sebagai bacaan hiburan.
Dari
pernyataan diatas, kita sepakat bahwa kata pendek dalam cerpen, bukan
semabarang pendek, bukan juga ajang latihan untuk membuat novel. Bahkan
puisi saja bisa di buat bertahun-tahun dan dipahami bertahun-tahun.
Seperti puisinya Sytardzi Calzoum Bachri dengan judul Luka yang isinya ha ha.
Cerpen, roman, puisi dan sastra lainnya dengan dunia perindustrian
sangat erat kaitannya, namun apakah industri cerpen akan menjadikan
seorang cerpenis pelacur?
Dalam
dunia percerpenan, kita mengenal yang namanya cerpen fiktif – ditulis
berdasarkan impian- isinya bagaikan opera sabun, biasanya menceritakan
hiruk-pikuk cinta kasih, seru dan tidak masuk akal. Cerpen macam ini
bisa kita temukan di majalah, tabloid wanita, majalah hiburan dan
merupakan bentuk tipikal di media massa. Kiranya pantaslah kita
menggoblok-goblokan cerpen ini tanpa mengaitkannya dengan dunia sastra,
melainkan memasukannya kedalam sabun-sabun yang semakin menjalar di
Indonesia. Akibatnya berimbas pada cerpen yang faktual, menghilang
esensi hidup yang utuh dari dunia realitanyata. Intinya, fiksi yang
dianggap fiksi yang isinya impian akan gaya hidup materialistik bukan
–boro-boro- surealistik melemparkan cerita fakutal kedalam jurang
keterasingan. Dan obsesi masyarakat urban Indonesia adalah impian
artisifasial yang digiring iklan-ikalan yang sesungguhnya betul-betul
fiktif.
Terlepas
dari itu semua, kita hidup dalam dunai yang negrinya sudah resmi bebas
dari buta huruf, namun dapat dipastikan cara membaca masyarakatnya belum
benar- yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai
kehidupannya. Alasannya mudah, mereka hanya membaca koran untuk
mengetahui harga barang-barang dipasaran, diskon di mol-mol besar,
mengetahu hasil pertandingan sepak bola. Lalu apakah karya sastra yang
dibentuk dalam puisi, cerpen, novel hanya dianggap mainan remaja? Apakah
penulis karya sastra ada gunanya?
Kembali
pada masalah jurnalistik, anda bisa membaca buku ketika jurnalisme di
bungkam sastra harus bicara pada halaman 63. Yaitu laporan JJ (Jakarta
Jakarta) yang berisikan tentang kedain di Dili yang di release press-releasedari
video pemerintah kejadian di Dili. Laporan itu bertajug (1) Dili,
Provokasi, dan videotape, (2) Demo dan penahanan (3) Komisi&
Obejktivitas (4) Orang Dili suka dansa dan (5) Tim-tim: Membangun dan
memahami. Laporan tersebut menyebabkan Seno Gumira Ajidarma, JJ Waskito Trisnoadi, dan Usep Hermawan di
panggil ke kantor dan mendapat surat pengeluaran halusnya pemindahan
jabatan. Hal itu dikarenakan karena peraturan yang berlaku dalam dunia
penebitan adalah tidak boleh melawan pemerintah dan SARA. Karena kedua
hal tersebut merupakan hal yang sensitif dalam pemberitaan di Indonesia.
Maka
dari itu semua, kebebasan dalam dunia sastra, karena sastra adalah
sastra itu sendiri, sangatlah absah. Sebetulnya tak terlalu terpengaruh
untuk mengkaji sebuah cerpen atau karya sasta lainnya dengan disangkut
pautkan terhadap si empu nya karya itu. Namun demikian hal itu bisa jadi
penting, jika yang dianalisis adalah tentang proses kreatifnya
pengarang. Seperti halnya cerpen-cerpen yang ditulis oleh Seno Gumira
Ajodarmono “tentang empat cerpen” (1) Pelajaran Mengarang (2) Sepotong
senja untuk pacarku (3) Telinga dan mata maria.
Cerpen
telinga mata dan maria, dan kumupulan cerpen saksi mata, adalah bentuk
manipestasi dari apa yang terjadi dalam dunia nyata, yaitu insiden di
Dili. Alasannya sudah dipaparkan diatas, karena peraturan Jurnlistik
yang berbenturan dengan pemerintah dan berfek pada dunia penerbitan.
Tentu dunia sastra lepas dari semua itu. Dengan gayanya yang lepas tanpa
tading-tading penghalang, “KETIKA JURNALISTIK DIBUNGKAM SASTRA HARUS
BICARA.”
No comments:
Post a Comment