1-IRPAN-ILMI

Klik Info Ini...!

Full width home advertisement

irpan-ilmii

My Journey

Rise Your Hand

Post Page Advertisement [Top]

irpan-ilmii
Tulisan saya kali ini dari Seno Gumira Ajidama dalam bukunya “Ketika Juranlisme Dibungkam Sastra Harus Bicara”. Tulisannya sepert ini
 
Menulis Adalah Melihat Ke Luar Jendela
Menulis adalah proses memindahkan
Apa pun yang menaraik bagi penulisnya
Kesebuah tulisan
Apa yang disebut “menarik”
Bisa saja “Sangat tidak menarik”
 
Bagaimanapun juga, menulis ada proses kreatif yang dihaturkan oleh penulisnya dari dalam jiwa dengan kesungguhan hati. Dalam hal ini, Jurnalisme selaku bagian dari tulis-menulis adalah menuangkan fakta yang sesungguhnya dari realita kehidupan, tentu kita sadari fakta-fakta yang ada bisa dimanipulasi, diembargo, atau ditutup dengan tinta hitam. Rekat hubungannya dunia jurnalisme dengan perpolitikan yang kadang dibumbui dengan dunia bisnis. Bukan berarti sastra tidak seperti itu, namun pada kenyataannya sastra mampu memanipulasi keadaan nyata dalam bentuk kiasan tanpa menghilangkan pesan kesan bahkan kebenaran dari senyatanya.
 
Sastra merupakan olah visi dalam pikiran manusia, di transpormasikan tidak hanya berhenti dalam tanah dan kertas- alat tulis jawa kuno- maupun disket, cd dalam bentuk kontemproler. Lebih dari itu, visi dalam kepala tentu akan terus menerus membicarakan kebenaran dalam bentuk apapun, sejatinya sastra ada dalam pikiran manusia. Bagan dari sastra itu sendiri cukup banyak jenisnya. Salah satu yang akan kita bicarakan dalam tarap awal tulisan ini adalah cerpen (Cerita pendek). Seringkali kita menemukan cerpen di korang mingguan, tepatnya dihari minggu (Cerita pendek dalam masa serba pendek), dalam analisis saya hal itu menunjukan nasib cerpen yang hanya terpojok di hari minggu.
 
Berbicara cerpen di hari minggu, hal itu karena cerpen dalam dunia industri penerbitan seperti koran hanya termaktub di hari minggu. Padahal kita bisa menemukan cerpen setiap saat tidak hanya di hari minggu. Pertanyaannya, adakah cerpenis memiliki hubungan dengan dunia perindustrian? Atau sebaliknya?
Jawaban dari itu pasti ada, bahkan dijawab oleh pakar filsafat manusia, namun perlulah kita mengetahui pemisahannya:
  • 1.       Tuduhan; seorang cerpenis akan menjual mimpi. Dengan alasa “Hiburan”
  • 2.       Sisi ideal; seorang cerpenis, bisa jadi menggebuk dunia perindustrian.
Kaitannya dengan ini, seorang dokter sastra yang cerpenis, pernah menggugat balai pustaka:
Untuk membuat roman perlu waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, disamping itu untuk membaca roman perlu waktu yang sangat luang, dan jaman sekarang orang-orang disibukan dengan segudang aktivitasnya. Sedangkan cerpen, bisa dibuat dalam kurun waktu beberapa hari, bahkan beberapa jam, dan bisa dinikmati ketika menunggu kereta tiba, dsb. Simpulan Budi Darma: pemikiran diatas telah memojokan cerpen bukan sebagai bentuk sastra atau genre akan tetapi sebagai bacaan hiburan.
 
Dari pernyataan diatas, kita sepakat bahwa kata pendek dalam cerpen, bukan semabarang pendek, bukan juga ajang latihan untuk membuat novel. Bahkan puisi saja bisa di buat bertahun-tahun dan dipahami bertahun-tahun. Seperti puisinya Sytardzi Calzoum Bachri dengan judul Luka yang isinya ha ha. Cerpen, roman, puisi dan sastra lainnya dengan dunia perindustrian sangat erat kaitannya, namun apakah industri cerpen akan menjadikan seorang cerpenis pelacur?
 
Dalam dunia percerpenan, kita mengenal yang namanya cerpen fiktif – ditulis berdasarkan impian- isinya bagaikan opera sabun, biasanya menceritakan hiruk-pikuk cinta kasih, seru dan tidak masuk akal. Cerpen macam ini bisa kita temukan di majalah, tabloid wanita, majalah hiburan dan merupakan bentuk tipikal di media massa. Kiranya pantaslah kita menggoblok-goblokan cerpen ini tanpa mengaitkannya dengan dunia sastra, melainkan memasukannya kedalam sabun-sabun yang semakin menjalar di Indonesia. Akibatnya berimbas pada cerpen yang faktual, menghilang esensi hidup yang utuh dari dunia realitanyata. Intinya, fiksi yang dianggap fiksi yang isinya impian akan gaya hidup materialistik bukan –boro-boro- surealistik melemparkan cerita fakutal kedalam jurang keterasingan. Dan obsesi masyarakat urban Indonesia adalah impian artisifasial yang digiring iklan-ikalan yang sesungguhnya betul-betul fiktif.
 
Terlepas dari itu semua, kita hidup dalam dunai yang negrinya sudah resmi bebas dari buta huruf, namun dapat dipastikan cara membaca masyarakatnya belum benar- yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Alasannya mudah, mereka hanya membaca koran untuk mengetahui harga barang-barang dipasaran, diskon di mol-mol besar, mengetahu hasil pertandingan sepak bola. Lalu apakah karya sastra yang dibentuk dalam puisi, cerpen, novel hanya dianggap mainan remaja? Apakah penulis karya sastra ada gunanya?
 
Kembali pada masalah jurnalistik, anda bisa membaca buku ketika jurnalisme di bungkam sastra harus bicara pada halaman 63. Yaitu laporan JJ (Jakarta Jakarta) yang berisikan tentang kedain di Dili yang di release press-releasedari video pemerintah kejadian di Dili. Laporan itu bertajug (1) Dili, Provokasi, dan videotape, (2) Demo dan penahanan (3) Komisi& Obejktivitas (4) Orang Dili suka dansa dan (5) Tim-tim: Membangun dan memahami. Laporan tersebut menyebabkan Seno Gumira Ajidarma,  JJ Waskito Trisnoadi, dan Usep Hermawan  di panggil ke kantor dan mendapat surat pengeluaran halusnya pemindahan jabatan. Hal itu dikarenakan karena peraturan yang berlaku dalam dunia penebitan adalah tidak boleh melawan pemerintah dan SARA. Karena kedua hal tersebut merupakan hal yang sensitif dalam pemberitaan di Indonesia.
 
Maka dari itu semua, kebebasan dalam dunia sastra, karena sastra adalah sastra itu sendiri, sangatlah absah. Sebetulnya tak terlalu terpengaruh untuk mengkaji sebuah cerpen atau karya sasta lainnya dengan disangkut pautkan terhadap si empu nya karya itu. Namun demikian hal itu bisa jadi penting, jika yang dianalisis adalah tentang proses kreatifnya pengarang. Seperti halnya cerpen-cerpen yang ditulis oleh Seno Gumira Ajodarmono “tentang empat cerpen” (1) Pelajaran Mengarang (2) Sepotong senja untuk pacarku (3) Telinga dan mata maria. 
 
Cerpen telinga mata dan maria, dan kumupulan cerpen saksi mata, adalah bentuk manipestasi dari apa yang terjadi dalam dunia nyata, yaitu insiden di Dili. Alasannya sudah dipaparkan diatas, karena peraturan Jurnlistik yang berbenturan dengan pemerintah dan berfek pada dunia penerbitan. Tentu dunia sastra lepas dari semua itu. Dengan gayanya yang lepas tanpa tading-tading penghalang, “KETIKA JURNALISTIK DIBUNGKAM SASTRA HARUS BICARA.”

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

JANGAN-KLIK