“Pilihannya simpel: lipat tangan atau turun tangan. Tak usah pikir stempel-stempel pahlawan, yang penting turun tangan & sekarang !.”
Doc. Irpan Ilmi |
Kutipan diatas, merupakan perkataan Rektor Paramadina Anies Baswedan. Cukup singkat, namun mengena. Begitulah kiranya sebuah jargon di haturkan oleh penulis, untuk mengunggah semangat pembacanya.
Nun jauh sebelum peradaban Islam era Nabi Muhammad SAW mengibarkan bendera, orang-orang Arab telah terlah terkenal dengan sastranya. Satunya diantaranya adalah sastra hamasah (Semangat). Sastra hamasah biasaynya digunakan ketika akan atau sedang melakukan perang, supaya bala tentara yang rela mngrobankan nyawanya yakin, bahwa peperangan itu adalah benar-benar untuk membela kebenaran dan demi kesejahteraan bangsanya.
Tak bisa di pungkiri, kata tinggallah sebuah kata, namun maknanya sangatlah luar bisa. Efek dari sebuah kata, dapat merubah persepsi, psikologi, pun dapat membuat seorang prustasi dan bunuh diri. Bukankah kita sering melihat di negri sendiri Indonesia, sebuah kepemimpinan bisa runtuh karena banyaknya orang (masyarakat) yang turun ke jalan menyuarakan aspirasinya, berselancar dimedia menuliskan kritikannya, itu semua merupakan efek dari kuatnya sebuah kata-kata.
Tentu bukan omong kosong bak bola pingpong yang banyak omong namun isinyamolongpong. Lebih seperti besi ketika di pukul suaranya terdengar nyaring, dan dalamnya padat berisi. Perlu ada konsep dan tujuan yang jelas dari perkataan itu. Ironisnya, di kalangan mahasisnya yang notabenenya sebagai agent of change, penulis disini sangat mengapresiasi bagi mereka yang turun ke jalan dan menyuarakan aspirasi, namun ketika mahasiswa itu ditanya mau ngapain dan solususi yang di tawarkan untuk suatu permasalan itu apa?, yang mereka lakukan hanya bisa menggaruk kepala. Ini merupakan suatu kebobrokan yang sangat patal.
Berperanlah sebagaimana mestinya manusia, saling adil tapi tidak mengadili. Mengkritik bukan berati harus menarus rasa benci, tapi karena peduli dan punya solusi. Kesalahan dalam mengkritk sama saja bunuh diri.
Seumpama kita tak mampu untuk mamandang ke atas, maka alihkanlah pandangan kita ke bawah, dan ternyata masih banyak yang harus kita benahi. Mahasiswa yang duduk di tengah, selalu menganalisis kebijakan pemerintah dan menyuarakan suara rakyat. Jika mahasiswa tak mampu untuk selalu memandang ke atas, alihkan pandangan itu ke bawah, baru harus kita sadari, ternyata mereka membutuhkan uluran tangan kita. Sekecil apapun usahanya, sebesar impian efeknya.
Konsep “Beramal Nyata,” menuntut bukti yang senyatanya dari apa yang kita lakukan. Tidak mesti mahasiswa, kalangan muda bahkan selagi kita merasa bahwa kita manusia, haruslah singsingkan lengan baju. Bidang garapannya apa saja. Mulai dari menaruh senyum ketika kita berpapasan dengan orang lain, mulai dengan menyeduh segelas kopi dan melimpahkan pemikiran dalam setiap seruputannya, hingga mampu mengumpulkan sebuah gagasan nyentrik untuk Indonesia yang lebih baik.
Andai kata melakukan perubahan bagi bangsa Indonesia terlalu jauh untuk di implementasikan, maka lakukan perubahan bagi diri kita sendiri. Meluangkan waktu untuk bekreasi dengan diri, mendayagunakan potensi yang sepenuhnya dengan memainkan dialektika logika. Caranya mudah, misal:
Saya ini siapa?
Saya manusia
Manusia itu apa?
Hewan yang berbicara
Berbicara itu apa?
Melakukan interaksi
Interaksi itu apa?
Saling melakukan aksi
Aksi itu apa?
Tindakan
Tindakan itu apa?
Melakukan sesuatu demi terciptanya perubaha
Perubahan itu apa?
Misalnya 2+2=4
Empat itu apa?
Dan dialek-dialek itu selalu kita kembangkan dalam diri, tidak musti dilakukan dengan dua orang, walau hanya seorang saja –pikiran dengan pikiran- hal itu dapat dilakukan dengan mudah. Intinya membangun wawasan dengan cara berwawasan. Dan hal itu dapat dilakukan hanya jika kita merasa bahwa kita manusia, manusia yang sesungguhnya. Efeknya buat diri kita, ketika kita telah bisa mengendalikan kontrol emosi dan pikiran saya yakin bisa pula kita mengendalikan orang yang ada disekitar kita.
Membaca diri sama dengan membaca lingkungan, membaca lingkungan sama dengan mengejewatahkan keadaan yang sebenarnya, maka nalar kritik yang ada pada benak kita akan keluar dengan sendirinya tanpa diminta apalagi dipaksa. Tentunya setiap alasan yang kita keluarkanpun akan diterima oleh halayak umum. Yang perlu diingat, “Ancaman itu akan selalu ada, dan yang paling real dalam hidup kita adalah ancaman.” Jangankan untuk berkata salah, berkata benarpun pasti ada yang menyalahkan. Selama kita tidak melanggar etika dan norma dalam hidup, selam kita berbicara pada dasar kebenaran yang telah disepakati, maka ancaman itu akan nampak lebih sedikit, bahkan lebih indah dari apa yang sebelumnya kita kalkulasikan.
Mari beramal nyata, dimulai dari dialektika tentang diri kita masing-masing dan kita formulasikan untuk kemajuan negeri Indonesia tercinta ini.
No comments:
Post a Comment