1-IRPAN-ILMI

Klik Info Ini...!

Full width home advertisement

irpan-ilmii

My Journey

Rise Your Hand

Post Page Advertisement [Top]

irpan-ilmii

 

BAB I

 

PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

 

Secara historis, filsafat Marxisme adalah filsafat perjuangan kelas buruh untuk menumbangkan kapitalisme dan membawa sosialisme ke bumi manusia. Sejak filsafat ini dirumuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels 150 tahun yang lalu dan terus berkembang, filsafat ini telah mendominasi perjuangan buruh secara langsung maupun tidak langsung. Kendati usaha-usaha para akademisi borjuis untuk menghapus ataupun menelikung Marxisme, filsafat ini terus hadir di dalam sendi-sendi perjuangan kelas buruh.

 

Oleh karenanya filsafat ini adalah miliknya buruh dan bukan hanya milik kaum intelektual. Marx menuangkan pemikirannya bukan untuk kaum intelektual dan para filsuf terpelajar, tetapi untuk digunakan kaum buruh dalam perjuangannya. Dalih bahwa buruh terlalu bodoh untuk bisa memahami dasardasar filsafat Marxisme adalah tidak lain usaha kaum borjuasi untuk memisahkan buruh dari filsafat perjuangannya. Tidak ada yang bisa memisahkan buruh dari filsafatnya karena dalam kesehari-hariannya buruh menghidupi filsafat ini di dalam aktivitasnya di pabrik. Alhasil, buruhlah yang pada akhirnya mampu merenggut filsafat ini untuk digunakan dalam perjuangan melawan kapitalisme. Sejarah telah menunjukkan bahwa pasukan kaum intelektual bersenjatakan Marxisme tidak pernah mencapai sejauh pasukan kaum buruh dengan senjata yang sama.

 

Marxisme adalah kata lain untuk sebuah filsafat yang bernama dialektika materialisme. Dialektika dan materialisme adalah dua filsafat yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf Barat dan juga Timur, yang kemudian disatukan, disintesakan, oleh Marx menjadi dialektika materialisme.

 

Untuk memahami pokok-pokok Marxisme, kita bisa memecahkannya menjadi tiga bagian, seperti yang dipaparkan oleh Lenin, yakni:

1.       Materialisme Dialektis

 

2.       Materialisme Historis

 

 

1


 

3. Ekonomi Marxis

 

 

 

Tiga bagian ini yang biasanya menjadi bagian utama dari Marxisme. Namun pada dasarnya, Materialisme Historis adalah pemahaman sejarah dengan metode materialisme dialektis, dan Ekonomi Marxis adalah pemahaman ekonomi dengan metode materialisme dialektis. Semua aspek kehidupan bisa ditelaah dengan materialisme dialektis. Kebudayaan, kesenian, ilmu sains, dll., semua ini bisa dipelajari dengan metode materialisme dialektis, dan hanya dengan metode ini kita bisa memahami bidang-bidang tersebut dengan sepenuh-penuhnya.

 

Jadi, pada dasarnya, pokok dari Marxisme adalah materialisme dialektis. Oleh karenanya kita akan memulai dari pemahaman materialisme dialektis. Tanpa pemahaman dialektika materialisme, maka kita tidak akan bisa memahami Materialisme Historis dan Ekonomi Marxis, namun pada makalah ini penulis akan tidak berfokus pada hal yang bersifat ekonomistik, namun langsung terjun ke dalam kancah penulis yakni pendidikan sehingga apa yang berisi di dalam makalah ini akan sedikit banyak menyinggung Gramsci dan Freire.

 

 

B. Rumusan Masalah

 

1.  Bagaimana konsepsi Marxisme dan metode berpikirnya?

 

2.  Bagaimana analisis Marx terhadap masyarakat?

 

3.  Bagaimana pengaruh Marxisme terhadap Pendidikan?

 

4.  Bagaimana kondisi kekinian pendidikan Indonesia perspektif Marxisme?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2


 

BAB II

 

PEMBAHASAN

 

 

 

A. Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis

 

Marx melakukan penelitian selama bertahun-tahun bersama Friedrich Engels pada perusahaan-perusahaan yang tersebar di negara Inggris. Marx meletakkan pisau analisanya pada logika dialektika dan berpaham materialisme yang kemudian dipopulerkan oleh Joseph Dietzgen sebagai Materialisme Dialektis. Materialisme yang dianut oleh Marx adalah sebuah penyempurnaan dan perdamaian antara Idealisme dan Materialisme yang terlalu penat. Dalam pertentangan ide dan materi sebelum Marx mereka terjebak pada monisme masing- sehingga buntu, Marx mencoba menyelami keduanya lewat kakek buyut materialisme Epikuros dan idealisme Plato. Marx mengatakan bahwa materi mengubah pemikiran, di dalamnya terjadi konflik dialektik sehingga

 

menghasilkan materi baru yang lebih baik. Materi dan Ide selalu terus bergerak karena manusia sebagai subjek terus melakukan penafsiran baru terhadap materi sehingga konyol rasanya menganut monisme kuno.

 

Seperti kita ketahui secara umum, materialisme pada mulanya merupakan gugus pengertian bahwa materi (ikhwal indrawi) adalah hakikat dari realitas. Marx merubah pandangan umum ini. Baginya, materialisme macam itu hanya benar untuk materialisme klasik hingga abad ke-18. Dalam Tesis pertamanya

 

tentang Feuerbach, Marx menunjukkan pengertian baru dari materialisme: Kekeliruan mendasar dari materialisme yang ada sampai saat ini termasuk juga Feuerbachadalah bahwa benda, realitas, keindrawian, dimengerti hanya dalam bentuk obyek atau kontemplasi , tetapi tidak sebagai aktivitas indrawi manusia, praktik, atau dengan kata lain tidak secara subyektif.

 

Materialisme sebelum Marx hanya memahami materi sebagai obyek indrawi belaka. Pengertian ini tak mampu menyadari bahwa obyek-obyek material itu

 

1


 

adalah juga hasil dari aktivitas subyektif manusia. Sentralitas pada obyek ini dibalikkan oleh Marx dengan menunjukkan peran sentral subyek, manusia, dalam konstitusi materialitas hal-ikhwal. Dengan pendekatan yang dapat disebut sebagai “materialisme subyektif” inilah Marx lantas dapat menunjukkan sesuatu, selain obyek material, yang konstitutif terhadap realitas. Sesuatu itu tak lain adalah laku, kerja, praxis.

 

Pengertian Marx tentang materialisme ini merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah pemikiran. Pengertian ini pulalah yang, dalam tafsir Etienne Balibar, untuk pertama kalinya mampu melepaskan materialisme dari idealisme.

 

Selama materialisme hanya berhenti pada primasi pada materi sebagai esensi realitas, maka materialisme itu tak akan lebih dari “idealisme terselubung” (disguised idealism). Berdasarkan konseptualisasi Marx yang baru, kini materialisme menjadi subyektif dan terekspresikan dalam praxis konkret.

 

Pembaharuan ini juga, bagi Balibar, menghasilkan konsepsi baru tentang subyek, yakni persamaan “subyek = praktik”. Materialisme Marx adalah pengertian bahwa keseluruhan obyek yang menyusun realitas ini tak lain adalah efek dari aktivitas subnyek. Dipahami dalam kerangka ini, tak ada yang sepenuhnya natural dalam realitas keseharian, tak ada nostalgia akan kemurnian azali. Kenaikan harga sembako tidaklah alami, begitu juga hutan-hutan yang jadi gundul di Kalimantan, pemanasan global dan matinya seorang buruh pabrik. Semuanya adalah efek dari konfigurasi aktivitas manusia yang tertentu. Sikap kritis yang menolak untuk memandang realitas secara natural dan mengakui adanya intervensi subyektif yang justru mengkonstitusi kenyataan sehari-hari inilah yang disebut Njoto sebagai konsepsi materialis.

 

Kita juga tahu bukan Marx yang pertama kali berbicara mengenai dialektika. Sejak Platon, pemikiran filosofis senantiasa dicirikan dengan sifat dialektis. Sokrates, junjungan Platon, sendiri berfilsafat dengan dialektika, dengan dialog (ingat: asal kata Yunani dari dialektika adalah dialegesthai yang

 

 

 

 

2


 

artinya “dialog”). Namun dari Hegel lah Marx menimba pelajaran mengenai dialektika.

 

Pengandaian dasar dialektika Hegel adalah relasionalisme internal, yakni pengertian bahwa keseluruhan kenyataan, dipahami sebagai manifestasi-diri Roh, senantiasi terhubung satu sama lain dalam jejalin yang tak putus. Secara logis, term A hanya bisa dimengerti sejauh ada juga term non-A yang darinya A ditentukan sifatnya. Secara ontologis, Ada dapat dimengerti sejauh ia koeksis dengan Ketiadaan: Ketiadaan internal dalam definisi Ada dan Ada internal dalam definisi Ketiadaan. Relasionalisme internal segala hal-ikhwal inilah yang memungkinkan terwujudnya determinasi resiprokal antar elemen dari realitas. Dengan berlandaskan pengertian Spinoza bahwa “omnis determinatio est negatio” (semua determinasi adalah negasi), bagi Hegel, relasi determinasi resiprokal ini adalah pula relasi negasi resiprokal: afirmasi (A), negasi (non-A) dan afirmasi pada tataran yang lebih tinggi atau “negasi atas negasi” (non-non-A yang mencakup intisari A dan non-A). Inilah yang biasanya kita kenal sebagai dialektika antara tesis-antitesis-sintesis. Dialektika inilah yang dimengerti Hegel sebagai dinamika internal dari realitas dan pikiran.

 

Lantas bagaimana posisi Marx pada fase penggarapan Kapital terhadap dialektika Hegel itu? Pertanyaan ini sulit dijawab. Marx sendiri hanya mengomentari hal ini secara eksplisit satu kali, yakni dalam Kata Pengantar untuk Edisi Kedua dari Das Kapital jilid satu. Konteksnya adalah tuduhan yang dilayangkan peresensi Jerman dan Russia atas buku Kapital. Dalam resensinya mereka menyebut bahwa traktat tersebut dipenuhi oleh “sofisme Hegelian”. Terhadap tuduhan ini, Marx menjawab:

 

Metode dialektis saya, pada fondasinya, tidak hanya berbeda dari kaum Hegelian melainkan tepatnya beroposisi dengannya. Bagi Hegel, proses pemikiran, yang ia transformasikan menjadi subyek independen di bawah nama ‘Idea’, merupakan pencipta dunia riil, dan dunia riil hanyalah penampakan eksternal dari idea. Dengan saya, kebalikannya menjadi benar: yang-ideal tidak lain dari dunia material yang direfleksikan dalam

 

3


 

pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk pemikiran.

 

 

 

 

Dari pernyataan ini, seolah Marx sepenuhnya memisahkan pengertian

 

dialektikanya dari pengertian Hegel atasnya. Namun ini tidak sejelas yang kita kira. Dalam paragraf selanjutnya, Marx mendeklarasikan bahwa—berhadapan dengan fakta bahwa banyak intelektual Jerman pada masanya yang memperlakukan Hegel ibarat Moses Mendelssohn memperlakukan Spinoza sebagai “anjing mati”—ia sendiri merupakan murid dari “pemikir besar itu”.

 

Namun deklarasi kesetiaan ini kembali dilanjutkan dengan distansiasi kritis. Mistifikasi yang diderita dialektika di tangan Hegel tidak membatalkan Hegel sebagai yang pertama yang mempresentasikan bentuk gerakan umumnya dalam cara yang komprehensif dan sadar. Dengannya dialektika berjalan pada kepalanya. Ia mesti dibalik, untuk menyingkapkan inti rasional dalam cangkang mistis.

 

Dalam bentuk mistisnya, dialektika digemari di Jerman sebab ia seolah mentransfigurasi dan mengagung-agungkan apa yang eksis. Dalam bentuknya yang rasional, ia merupakan skandal dan ancaman bagi borjuasi dan para jurubicaranya sebab ia mengikutsertakan dalam pemahaman positifnya tentang apa yang eksis sebuah pengakuan secara bersamaan akan negasinya, akan kehancurannya yang tak terelakkan, sebab ia memandang segala bentuk perkembangan historis sebagai apa yang ada dalam kondisi cair, dalam gerakan, dan karenanya memandang aspek kesementaraannya pula, dan sebab ia tak membiarkan dirinya dikesankan oleh apapun, sehingga pada esensinya bersifat kritis dan revolusioner.

 

Dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa dialektika Marx adalah

 

saripati rasional dari cangkang mistis dialektika Hegel. Bagaimana deskripsi metaforis ini diterangkan? Dari pernyataan itu pula dijelaskan bahwa ia menolak dialektika Hegel sejauh itu dipahami sebagai glorifikasi atas apa yang eksis, alias suatu justifikasi atas status quo. Dengan demikian, selama dialektika Hegel masih dipahami dalam pengertian bahwa segala yang riil

 

 

4


 

(situasi penghisapan, sistem yang merepresentasi rakyat dalam parlemen borjuis) niscaya rasional dan dengannya menjadi sah untuk eksis dan terus eksis, maka dialektika Marx bukanlah dialektika Hegel. Namun, dari penjelasan Marx ini saja, tidak ada pengertian yang lengkap tentang relasi dialektika Marx dan Hegel. Para komentator Marx sendiri tak pernah memberikan jawaban yang seragam atas problem ini. Komentator seperti Magnis-Suseno, mengikuti tafsiran Jean-Yves Calvez SJ, cenderung menekankan kontinyuitas pemikiran Marx. Implikasinya, tak ada distingsi yang ketat atau patahan dalam pemikiran Marx “muda” yang masih Hegelian dan Marx pada fase lanjut (termasuk fase penggarapan Kapital).

 

Sebaliknya, komentator seperti Louis Althusser justru menekankan adanya patahan (coupure) radikal yang mengantarai pemikiran Marx muda yang masih Hegelian dan pemikiran Marx lanjut yang samasekali non-Hegelian.

 

Oleh karena kerumitan ini, maka dalam kurikulum ini kita tidak akan memastikan makna yang tepat dari relasi Marx-Hegel. Biarlah problematika ini kita kupas bersama lewat diskusi-diskusi yang intens. Di sini cukup dimengerti bahwa Marx berhutang budi pada pemikiran Hegel tentang dialektika sebab dengannya realitas dapat dilihat sebagai sesuatu yang senantiasa berubah, cair dan bergerak terus menerus. Realitas, dengan demikian, adalah efek dari aktivitas subyektif yang, pada gilirannya, mendeterminasi aktivitas subyektif itu sendiri.

 

Gerak determinasi resiprokal atau gerak dialektis inilah yang juga ditekankan oleh Marx. Dialektika, sesuai dengan pendapat Njoto, merupakan metode dari materialisme Marxis. Artinya, filsafat Marx yang bertumpu pada konsepsi materialis—bahwa yang terselubung pada jantung realitas sesungguhnya tak lain adalah praxis subyektif yang jadi material—hanya dapat diekspresikan oleh satusatunya metode yang cocok dengan karakter materialis ini, yakni metode dialektika—sebuah modus di mana bendanya itu sendiri tidak hadir dalam stabilitas yang diam, melainkan telah selalu dalam gerak determinasi bolak-balik yang tak berkesudahan.

 

 

 

5


 

Kesejarahan merupakan tema sentral dalam diskursus Marx. Kita sering mendengar tentang ramalan Marx mengenai tatanan komunis dunia sebagai hasil evolusi dialektika sejarah. Seolah-olah Malaikat Sejarah yang bekerja dari balik layar realitas tengah merancang suatu Penyelenggaraan Ilahi bagi kaum proletar sedunia. Seolah-oleh sejarah akan berpuncak pada suatu konflagrasi final antara yang-Baik dan yang-Jahat, antara proletar dan borjuasi, dan akan berakhir dalam suatu surga dunia komunis. Pandangan inilah yang dikenal sebagai historisisme, atau pengertian bahwa sejarah dipimpin oleh suatu teleologi internal. Ada komentator yang menyatakan bahwa historisisme Marx ini merupakan ekses dari ketergantungannya pada filsafat Hegel. Memang kita dapat menafsirkan filsafat sejarah Hegel sebagai konsepsi sejarah yang dipimpin oleh suatu teleologi internal sebab sejarah, bagi Hegel, pada dasarnya merupakan evolusi-diri Roh menuju pada kesadarannya yang paripurna. Inilah salah satu alasan mengapa Althusser bersusah payah membersihkan pemikiran Marx lanjut dari pengaruh Hegel. Althusser adalah alah seorang dari komentator kontemporer yang menekankan segi anti-historisis dari pemikiran Marx. Baginya tafsiran historisis atas Marx merupakan pembacaan yang bersifat voluntaristik, yakni pemahaman humanis tentang proletar sebagai “misionaris esensi manusia” (missionary of the human essence). Padahal, bagi Althusser, jika kita baca sungguh-sungguh Kapital dan bahkan karya-karya awal Marx, kita akan mengerti bahwa historisisme adalah problem yang asing terhadap filsafat Marx.

 

Memang benar bahwa konsepsi materialis Marx yang bersifat subyektif, atau menekankan pada praxis, dapat mengarah pada pengertian bahwa sejarah pun merupakan hasil bentukan manusia dan, oleh karenanya, Marx terjatuh dalam historisisme. Apalagi skema Marx yang terkenal tentang infrastruktur dan suprastruktur dapat menjurus pada historisisme: karena infrastruktur ekonomis mendeterminasi suprastruktur ideologis, maka perkembangan realitas ekonomi lah yang menentukan pembebasan politik dari kelas proletar yang terhisap. Pada akhirnya, tafsiran semacam ini akan berujung pada suatu iman pada “keniscayaan historis” bahwa kapitalisme

 

6


 

akan tumbang dengan sendirinya karena kontradiksi internalnya seperti dianalisis Marx dan kelas proletar akan menjadi satu-satunya kelas sosial dunia. Namun pembacaan seperti ini abai terhadap relasi determinasi resiprokal yang menstruktur relasi antara subyek dan sejarah dunia yang melingkupinya. Pembacaan historisis itu berpegang pada sebaris frase kunci yang tidak berasal dari Marx melainkan dari Engels, yakni “determinasi pada pokok terakhir”. Artinya, determinasi pada pokok terakhir ada pada infrastruktur ekonomi. Terhadap tafsiran historisis ini, Althusser juga mengajukan sanggahan. Ini dilancarkannya melalui elaborasi konsep overdeterminasi, yakni relasi determinasi resiprokal di mana pokok yang mendeterminasi ikut terdeterminasi oleh apa yang ia determinasikan sendiri. Relasi overdeterminasi inilah yang bagi Althusser dimengerti Marx dalam konteks relasi antara infrastruktur dan suprastruktur. Itulah sebabnya Althusser dapat menulis: “Dari momen pertama hingga terakhir, jam sepi ‘pokok terakhir’ tak pernah datang . Dengan demikian, tak ada historisisme yang esensial dalam pemikiran Marx.

 

 

B. Analisis Marx Terhadap Masyarakat

 

Marx adalah teoretisi konflik paling terkemuka, dan bahkan sejak awal telah meringkas perubahan masyarakat versi Lenski ke dalam konsepnya: Materialisme historis. Konsep ini menjelaskan bahwa sejarah masyarakat tidak lain tersusun berdasarkan cara-cara produksi material. Materialisme historis beroperasi dalam kaidah materialisme dialektis. Materialisme dialektis menyatakan bahwa setiap cara produksi di setiap tahapan perkembangan masyarakat menghasilkan struktur-struktur sosial khas yang saling bertentangan. Masyarakat baru kemudian muncul sebagai buah pertentangan antar struktur masyarakat lama.

 

Cara produksi memburu hewan dan mengumpulkan tanaman menciptakan masyarakat pemburu dan peramu, yang menciptakan kelas tetua suku dan anggota suku. Cara produksi cocok tanam dan domestikasi hewan menciptakan masyarakat hortikultural dan pastoral, yang menciptakan kelas

 

 

7


 

tuan dan budak. Cara produksi pertanian menetap memunculkan masyarakat agraris, yang menciptakan kelas tuan feodal dan penggarap. Cara produksi menggunakan mesin dan buruh yang mengoperasikannya memunculkan masyarakat industrial, yang menciptakan kelas borjuis (juga kapitalis) dan proletar. Cara produksi menggunakan komputer dalam mengolah informasi menciptakan masyarakat posindustrial, yang menciptakan kelas produsen dan konsumen informasi. Menurut Marx, periode masyarakat yang berbeda tersebut ditandai satu kesamaan: Struktur kelas yang terbentuk adalah cermin cara produksi yang berlaku, dalam mana masing-masingnya bertentangan satu sama lain secara diametral dalam konflik abadi. Bagi Marx, kelestarian konflik hanya akan ada selama masyarakat komunis yang egaliter belum tercipta.

 

Akibat perbedaan penikmatan keuntungan hasil produksi dan waktu luang yang dimiliki, satu kelas selalu lebih beruntung ketimbang kelas lain. Hal ini membuat struktur sosial senantiasa timpang. Ketimpangan sosial ini bersifat permanen di setiap masyarakat sekaligus merupakan inti pendekatan konflik yang digagas oleh Marx. Ketimpangan sosial senantiasa membuat hubungan antar kelas ekonomi berada dalam ketegangan. Dua kelas selalu berhadapan secara diametral. Bagi Marx, bukan gagasan yang menciptakan masyarakat melainkan cara-cara produksi material-lah yang menciptakan gagasan. Justru cara-cara produksilah yang menciptakan aneka gagasan manusia seputar masyarakat. Inilah penjelasan singkat mengenai materialisme historis. Karena Marx menggunakan cara produksi ekonomi sebagai monofaktor kekuatan penggerak perubahan masyarakat maka ia dikenal menganut determinisme ekonomi.

 

Marx lalu membelah struktur masyarakat menjadi dua: Infrastruktur dan suprastruktur. Infrastruktur merupakan basis (dasar) suatu masyarakat yaitu cara produksi di bidang ekonomi. Suprastruktur terdiri atas: (1) Lembaga sosial dan (2) Gagasan dan nilai. Infrastruktur adalah fundamen yang membentuk suprastruktur. Cara produksi ekonomi memunculkan aneka institusi sosial seperti politik, agama, pendidikan, atau keluarga. Institusi-institusi tersebut lalu mengembangkan gagasan dan nilai-nilai aktual yang

 

8


 

berlaku di tengah masyarakat. Menurut Marx, gagasan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat hanya dibuat oleh kelas dominan dalam cara produksi. Hanya mereka yang sempat merancang hukum dan aneka peraturan karena waktu luang yang mereka miliki lebih banyak. Akibatnya, gagasan serta nilai apapun yang muncul melulu merupakan instrumen guna memelihara status quo. Di dalam masyarakat industrial, kelas tersebut adalah kapitalis. Kelas ini sengaja menciptakan aneka institusi sosial, gagasan, agama, dan nilai-nilai masyarakat guna mempertahankan ketimpangan struktur sosial yang ada agar dominasi kelas tetap terpelihara. Bahkan, menurut Marx, negara pun tidak lain merupakan instrumen kelas borjuis dan kapitalis untuk memastikan kepatuhan kelas proletar agar terus bekerja sesuai kepentingan mereka. Telah dipaparkan bahwa suprastruktur yang terdiri atas intitusi sosial, gagasan, serta nilai hanya beroperasi (atau tercipta) guna mendukung cara produksi ekonomi yang ada. Dengan demikian, suprastruktur tidak lain merupakan cerminan dari infrastruktur. Jika infrastruktur mengandung hubungan sosial antarkelas yang konfliktual, maka suprastruktur sekadar merupakan instrumen demi melestarikan posisi keberuntungan kelas dominan dan mempertahankan hubungan konfliktual tersebut. Perubahan masyarakat atau perombakan suprastruktur hanya mungkin jika infrastruktur direvolusi.

 

Marx hidup di dalam masyarakat industrial yang tengah berkembang. Dalam masyarakat ini, menurut Marx, terdapat dua kelas utama yaitu kelas yang berkuasa (kapitalis, pemilik alat produksi) dan kelas yang teropresi (proletar, tidak punya alat produksi, pekerja/buruh). Kelas terakhir sekadar menjual tenaga kepada kelas pertama. Marx mempersamakan hubungan kapitalis-protelar era industrial serupa dengan tuan-budak di zaman kuno ataupun tuan tanah feodalpenggarap di era agraris. Kapitalis memperlakukan proletar tidak lebih sebagai alat produksi. Hubungan konfliktual antara kapitalis-proletar bersumber pada penguasaan alokasi kekuasaan dan kesejahteraan hanya di satu kelas. Hubungan yang mungkin hanyalah satu kelas mempertahankan, kelas lain berupaya merebutnya.

 

 

 

9


 

Situasi konfliktual ditandai pula peran uang yang telah muncul sebelumnya. Secara pesimis, Marx melihat uang sebagai tanda keterasingan manusia dari lingkungannya. Saat uang belum ditemukan, kepemilikan ditandai benda-benda riil misalnya ternak, gandum, gerobak, yang menunjukkan hubungan langsung manusia dengan alam. Saat uang ditemukan, ternak dikonversi menjadi uang, gandum dikonversi menjadi uang, dan gerobak dikonversi menjadi uang. Manusia tidak lagi berhubungan dengan benda-benda riil (alamiah) melainkan lewat simbol-nya: Uang. Manusia dijauhkan dan menjadi terasing dari alam. Konversi benda riil menjadi uang menambah peluang akumulasi kekayaan secara lebih timpang. Apa yang diwakili uang tidak lagi tepat melukiskan kondisi riil benda alamiah. Dalam kasus upah pekerja misalnya, kapitalis memberikannya dalam nilai uang yang ketika dikonversi pekerja menjadi benda alamiah (sembako misalnya) ternyata tidak cukup guna menghidupi diri dan keluarganya. Selain uang, sebagai penyebab keterasingan manusia, Marx juga merinci keterasingan (alienasi) lain dalam masyarakat industrial, yaitu:

 

 

1.   Alienasi dari tindakan bekerja. Ideal Marx adalah, dalam bekerja orang

 

bisa      memenuhi     kebutuhan     sekaligus  mengembangkan potensi

 

individualitas. Namun, dalam pola kerja pabrik pekerja tidak menghasilkan barang dan skill yang dibutuhkan untuk bekerja sehingga menyebabkan kemampuan kreatifnya stagnan.

 

2.   Alienasi dari hasil pekerjaan. Produk yang dihasilkan pekerja bukan milik si pekerja melainkan milik si kapitalis. Produk tersebut dijual oleh

 

kapitalis demi profit. Bagi Marx, semakin banyak si pekerja menginvestasikan tenaganya dalam proses produksi, sesungguhnya ia semakin banyak kehilangan hasilnya. Marx merinci kondisi ini dengan teorinya tentang nilai lebih (surplus value).

 

3.   Alienasi dari pekerja lain. Lewat tindakan bekerja, bagi Marx, orang seharusnya mampu membangun ikatan sosial dalam komunitas. Dalam masyarakat industrial, pekerja satu dengan pekerja lain justru malah

 

 

10


 

terpisah dan diperparah oleh pola hubungan sosial yang kompetitif sehingga kesempatan membangun ikatan komunitas menjadi kecil atau

 

cenderung tidak ada.

 

4.   Alienasi dari potensi kemanusiaan. Masyarakat industrial ibarat mesin. Pekerja baru merasakan kedirian manusianya kala jam istirahat saja.

 

 

C.  Pengaruh Karl Marx Terhadap Pendidikan Pembebasan Paulo Freire

 

Marx mencoba menjelaskan keadaan secara riil di lapangan infrastruktur dimana basis ekonomi dikuasai oleh segelintir orang yang disebut sebagai borjuis dan yang ditindas adalah proletar. Marx menganalisis dari segi basis ekonomi yang biasa disebut determinasi ekonomi sehingga begitu jelasnya terlihat bahwa kaum borjuis menguasai alat produksi ekonomi masyarakat luas dan mereka sengaja diperas keringatnya untuk memperkaya kaum borjuis. Antonio Gramsci sebagai orang yang berpaham neo-marxis mencoba melakukan inovasi dalam melakukan pengamatan terhadap penindasan tersebut, Gramsci menganalisis komponen suprastruktur masyarakat dan berhasil mengeluarkan teori hegemoni.

 

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Konsep hegemoni menjadi ngetrend setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu. Adapun teori hegemoni yang dicetuskan Gramsci adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.

 

Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses

 

 

 

 

 

 

11


 

penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai.

 

Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa .

 

Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut:

 

Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni.

 

John Storey menjelaskan konsep hegemoni untuk mengacu kepada proses sebagai berikut:

 

’’Sebuah kondisi proses di mana kelas dominan tidak hanya mengatur namun juga mengarahkan masyarakat melalui pemaksaan “kepemimpinan” moral dan intelektual. Hegemoni terjadi pada suatu masyarakat di mana terdapat tingkat konsensus yang tinggi dengan ukuran stabilitas sosial yang besar di mana kelas bawah dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur kekuasaan yang ada.”

 

Atas dasar landasan neo-marxis Paulo Freire mencoba menganalisis

 

 

12


 

masyarakat di Brazil dan bergerak langsung melawan penindasan lewat praktik suprastruktur, yaitu dalam bidang pendidikan. Paulo Freire berpendapat bahwa hegemoni yang dilakukan oleh kaum borjuis haruslah dilawan dengan Counter Hegemoni. Jika Gramsci merumuskan intelektual organik di dalam masyarakat yang mencoba mempropaganda balik dan membongkar kebusukan the dominant ideology, maka jangkauan dari praksis Paulo Freire lebih luas, yakni memberikan proses penyadaran kepada publik lewat pendidikan. Kaum Borjuis yang menggunakan instrumen pendidikan sebagai arena perjuangan politik terselubung mereka coba dibongkar oleh Freire dan dia balik menggunakannya sebagai instrumen penyadaran dari kesadaran palsu yang selama ini dibentuk oleh kaum borjuis. Pendidikan kaum borjuis disebut sebagai proses produksi, yakni memproduksi pengetahuan, manusia yang bisa mereka gunakan dalam kehidupan kapitalisme, seperti logika link and match dan sekolah menengah kejuruan yang mengarah langsung sebagai tenaga kerja yang akan dipekerjakan dalam sistem kapitalisme. Pendidikan Freire dikenal sebagai pendidikan reproduksi dimana praktek pendidikan berusaha melepaskan kesadaran palsu para pesertanya dan mencoba mendirikan mereka di dalam eksistensi manusia, antar manusia dan global sehingga terbentuk manusia yang mampu mengerti eksistensinya sebagai manusia.

 

Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat obyektif atau subyektif, tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk merubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif (kesadaran subyektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif. Obyektivitas dan subyektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis. Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu bisa menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir.

 

13


 

Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. Jadi hubungan dialektis tersebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni:

 

1.              Pengajar

 

2.              Pelajar atau anak didik

 

3.              Realitas dunia.

 

Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang tersadari atau disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.

 

pendidikan yang pernah ada dan mapan selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) di mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito petensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Freire percaya bahwa tugas utama pendidikan sistematis adalah reproduksi ideologi kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan mereka, namun tepatnya karena hubungan antara pendidikan sistematis, sebagai¬ suatu subsistem dengan sistem sosial, merupakan hubungan pertentangan dan kontradiksi timbal balik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai”bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya kelak. Jadi guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai obyek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran.

 

 

14


 

Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi informasi yang harus ditelan murid, yang wajib diingat dan dihafalkan. Secara sederhana, Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:

 

1.     Guru mengajar, murid belajar

 

2.     Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa

 

3.     Guru berpikir, murid dipikirkan

 

4.     Guru bicara, murid mendengarkan

 

5.     Guru mengatur, murid diatur

 

6.     Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti

 

7.     Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya

 

8.     Guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri

 

9.     Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionlismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid-

 

murid

 

10.  Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya.

 

 

 

 

Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan “biofili”. Implikasinya lebih jauh adalah bahwa pada saatnya nanti murid-murid akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas. Jika di antara mereka ada yang menjadi guru atau pendidik, daur penindasan segera dimulai dalam dunia pendidikan, dan demikian terjadi seterusnya. Sistem pendidikan,

 

15


 

karena itu, menjadi sarana terbaik untuk memelihara keberlangsungan status-quo sepanjang masa, bukan menjadi kekuatan penggugah (subversive force) ke arah perubahan dan pembaruan. Bagi Freire, sistem pendidikan justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dan tercerabut (disinherited masses) dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.

 

Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi penonton dan peniru, bukan pencipta, sehingga mudah dipahami mengapa suatu revolusi yang paling revolusioner sekalipun pada awal mulanya, tetapi digerakkan oleh orang-orang yang dihasilkan oleh sistem pendidikan mapan seperti itu, pada akhirnya hanyalah menggantikan simbol-simbol dan mitos-mitos lama dengan simbol-simbol dan mitos-mitos baru yang sebenarnya setali tiga uang alias sama saja, bahkan terkadang jauh lebih buruk.

 

Akhirnya Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakannya sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharu ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan – bukan untuk penguasaaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas. Inilah makna dan hakekat praxis itu.

 

 

 

16


 

Dengan kata lain, “praxis” adalah “manunggal karsa, kata dan karya”, karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat.

 

Pada saat bertindak dan berpikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini, setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka di dalamnya. Karena itu, Freire juga menyebut model pendidikannya sebagai “pendidikan hadap masalah” (problem posing education). Anak didik menjadi subyek yang belajar, subyek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya. Begitu juga sang guru.

 

Jadi, keduanya (murid dan guru) saling belajar satu sama lain, saling memanusiakan. Dalam proses ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanya pun menjadi subyek-subyek, bukan subyek-obyek. Obyek mereka adalah realita. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subyek untuk memahami suatu obyek bersama.

 

Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran

 

kritis (critical consciousness).

 

1.     Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.

 

2.     Kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah

 

 

17


 

lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat.

 

3.     Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan

 

masyarakat.

 

Dengan aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata, dan dalam suasana dialogis, maka kaum tertindasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Dengan cara menolak penguasaan, penjinakan dan penindasan, maka pendidikan kaum tertindasnya Freire secara langsung dan gamblang tiba pada pengakuan akan pentingnya peran proses penyadaran (konsientisasi). Pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya bisa dilakukan dalam artian yang sesungguhnya jika seseorang memang benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, tidak pernah mampu mengenali apa yang sesungguhnya ia ingin lakukan, tidak akan pernah dapat memahami apa yang sesungguhnya ingin ia capai. Jadi, sangatlah mustahil memahamkan seseorang bahwa ia harus mampu, dan pada hakekatnya memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya sebelum ia sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaan dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan memang mungkin baginya.

 

Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya

 

pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus-menerus, suatu “commencement”, yang selalu “mulai dan mulai lagi”, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang inheren dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh berhenti, mandeg, ia senantiasa

 

18


 

harus selalu berproses, berkembang dan meluas, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat “kesadaran naïf” sampai ke tingkat “kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni “kesadaran kesadaran” (the consice of the consciousness).

 

Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itu pun mulai ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan suatu “sistem kesadaran”, sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar apa yang dikatakannya, dari mana ia telah menerima hafalan yang dinyatakannya itu, dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat tersebut.

 

Di situlah letak berikut arti penting dari kata-kata, karena kata-kata yang dinyatakan seseorang sekaligus mewakili dunia kesadarannya, fungsi interaksi antara tindakan dan pikirannya. Menyatakan kata-kata yang benar, dengan cara benar, adalah menyatakan kata-kata yang memang disadari atau disadari maknanya, di situlah arti memahami realitas, berarti telah melakukan “praxis”, dari situlah ia telah berperan, andil merubah dunia. Tetapi kata-kata yang dniyatakan sebagai bentuk pengucapan dari dunia kesadaran yang kritis bukanlah kata-kata yang diinternalisasikan dari luar tanpa refleksi, bukan slogan-slogan, namun berasal dari perbendaharaan kata-kata orang itu sendiri untuk menamakan dunia yang dihayatinya sehari-hari, betapapun sederhananya.

 

Maka, pendidikan harus memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk

 

mengatakan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Murid harus diberi kesempatan untuk mengatakan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata sang guru. Atas dasar itulah, Freire menyatakan bahwa proses pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan literasi) pada tingkat yang paling awal sekali dari semua proses pendidikan haruslah benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional, bukan sekedar suatu kegiatan teknis mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkaikan menjadi kata-

 

 

19


 

kata dalam kalimat-kalimat yang telah tersusun secara mekanis. Berdasarkan pengalaman dan dialognya dengan kaum petani miskin dan buta huruf (terutama di Brasil dan Chile), Freire kemudian menyusun suatu konsep pendidikan melek huruf fungsional menggunakan perbendaharaan kata-kata yang digali dari berbagai “tema pokok”

 

(generative theme) pembicaraan sehari-hari masyarakat petani itu sendiri. Dalam pelaksanaannya, konsep pendidikan melek huruf fungsional Freire ini terdiri dari

 

tiga tahapan utama:

 

1.     Tahap Kodifikasi dan Dekodifikasi: merupakan tahap pendidikan melek huruf elementer dalam “konteks konkret” dan “konteks teoritis”

(melalui gambar-gambar, cerita rakyat, dan sebagainya).

 

2.     Tahap Diskusi Kultural: merupakan tahap lanjutan dalam satuan kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematis dengan menggunakan “kata-kata kunci” (generative words).

 

3.     Tahap Aksi Kultural: merupakan tahap “praxis” yang sesungguhnya di mana setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas. Dampak riil dari gagasan Freire ini adalah upayanya yang ingin

 

memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas.

 

“Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”. Semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya). Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai

 

20


 

fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.

 

Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu. Artinya, pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran

 

kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.

 

Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari

 

pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.

 

Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas

 

penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui

 

21


 

transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam bukubuku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.

 

Kebebasan tentu ada batasnya. Kebebasan memiliki batasan-batasan tersendiri, tergantung persoalan yang dihadapi oleh “kaum tertindas” tersebut.

 

Karena jika kebebasan tidak diiringi dengan batasan-batasan tertentu,

 

justru akan berbenturan dengan hak-hak orang lain, yang pada ahirnya akan

 

menimbulkan

 

anarkhisme.

 

Oleh sebab itu, kesadaran kritis menjadi titik tolak pemikiran pembebasan Freire. Tanpa kesadaran kritis rakyat bahwa mereka sedang ditindas oleh kekuasaan, tak mungkin pembebasan itu dapat dilakukan. Karena itu, konsep pendidikan Freire ditujukan untuk membuka kesadaran kritis rakyat itu melalui pemberantasan buta huruf dan pendampingan langsung dikalangan rakyat tertindas. Upaya membuka kesadaran kritis rakyat itu, dimata kekuasaan rupanya lebih dipandang sebagai suatu “gerakan politik” ketimbang suatu gerakan yang mencerdaskan rakyat. Karena itu, pada tahun 1964 Freire diusir oleh pemerintah untuk meninggalkan Brazil. Pendidikan pembebasan, menurut Freire adalah pendidikan yang membawa masyarakat dari kondisi “masyarakat kerucut” (submerged society) kepada masyarakat terbuka (open society).

 

Walaupun teori yang dikembangkan oleh Freire ini (tampak) ideal, penulis melihat ada kelemahan (jika bisa disebut sebagai kelemahan). Dalam beberapa kondisi politik, ekonomi, social dan budaya, masyarakat (juga Negara) sering tidak bisa terlepas dari kondisi-kondisi mereka harus melindungi masyarakat dari hegemoni yang menjadi musuh ideologis dari Negara. Dalam teori Gramsci mengenai hegemoni, hegemoni hanya bisa dilawan jika kita menciptakan kontra hegemoni, sehingga idelogi masyarakat (juga Negara) bisa dilindungi, sedangkan teori Freire menentang segala macam hegemoni dari suatu ideologi tertentu padahal dalam suatu kondisi

 

22


 

krisis atau revolusioner kondisi seperti ini sering diidentikkan dengan kondisi perang sehingga diperlukan langkah yang cepat dan terpusat untuk mengatasinya.

 

 

D. Pendidikan Indonesia Hari Ini

 

Umumnya orang memahami pendidikan sebagai suatu kegiatan mulya yang selalu mengandung kebajikan dan senantiasa berwatak netral. Dunia pendidikan terkejut, ketika asumsi bahwa setiap usaha pendidikan itu selalu dimulyakan dan diasumsikan mengandung kebajikan tersebut mendapat kritik mendasar oleh almarhum Paulo Freire awal tahun 70 an, serta Ivan Illich pada dekade yang sama.

 

Pada saat yang sama kegairahan pendidikan juga tumbuh bagi penganut

 

pemikiran liberal yang mendominasi. Hal itu ditandai dengan munculnya berbagai proses model pendidikan dan pelatihan yang pada dasarnya berpijak pada paradigma liberal dalam berbagai bentuk dan pendekatannya. Itulah misalnya mengapa pada tahun 70an dunia pendidikan disemarakan oleh berkembangnya model model pelatihan untuk menjadi Kapitalis sejati, seperti AMT atau Achievement Motivation Training.

 

Sementara itu di lapangan pembangunan, berbagai proyek besar besaran tengah diperkenalkan, dan pendidikan juga memainka peran sentral, yakni dengan dikembangkannya berbagai model pendidikan Non Formal Education yang diimpelementasikan dalam berbagai bentuk proyek pengembangan masyarakat. Di didunia bisnis, saat itu tengah bergairahnya munculnya berbagai bentuk pelatihan manajemen dan kewiraswastaan untuk menumbuhkan kelas pengusaha baru.

 

Pendidikan formal juga mengalami kegoncangan karena dampak dari pertikaian ideologi dan perspektif pendidikan tersebut. Tanpa disadari, pendidikan formal tengah mengalami transisi dari model pendidikan yang sama sekali tidak menghiraukan perubahan masyarakat sekelilingnya, menuju model pendidikan pembangunan, dimana pendidikan harus diabdikan untuk

 

 

 

23


 

memperkuat pembangunan, tanpa dipersoalkan apa hakekat ideologi yang menjadi dasar bagi pembangunan itu sendiri.

 

Dewasa ini arus ini semakin berkembang, dengan fenomena munculnya gagasan ‘sekolah unggulan’ dan sering terdengar gagasan ‘link and match’ dalam aspek pendidikan. Yang dimaksud sesungguhnya adalah bagaimana pendidikan harus memiliki kaitan dan relevansi dengan dunia Industri. Konon gagasan ini juga tengah bergejolak dalam sistim pendidikan pesantren.

 

Kritik terhadap dunia pendidikan gelombang selanjutnya, datang dari pengaruh pikiran kritis terhadap Kapitalisme di Amerika Serikat pada masa setelah tahun tujuh puluhan. Samuel Bowels, melakukan analisis politik ekonomi terhadap pendidikan. Paling tidak di Amerika baginya, pendidikan merupakan reproduksi terhadap sistim kapitalisme belaka. Pandangan yang sangat pesimistik ini melahirkan aliran reproduksi dalam pendidikan. Tentu saja pandangan ini bertentanga dengan pandangan Freire, dimana pendidikan penyadaran kritis justru akan memproduksi reistensi dan kritik terhadap proses de-humanisasi akibat Kapitalisme.

 

Paradigma Liberal. Golongan ini berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’.

 

Umumnya yang dilakukan adalah seperti: perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih effisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) ‘learning by doing’,

 

 

 

24


 

‘experimental learning’, ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagainya.

 

Usaha peningkatan tersebut terisolasi dengan sistem dan struktur ketidak adilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat. Kaum Liberal dan Konservatif sama sama berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah mayarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural functionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaskudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.

 

Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan baik pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan nonformal seperti berbagai macam pelatihan. Akar dari pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita cita Barat tentang individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen komponennya.

 

Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia universal yakni model manusia Amerika dan Europa. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rationalis liberal”, seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, kedua baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal. Ketiga adalah

 

 

 

25


 

“individualis” yakni adanya angapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom.

 

Menempatkan individu secara atomistic, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil.

 

Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan

 

prestasi melalui proses persaingan antar murid. Perengkingan untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy” seperti dalam training management, kewiraswastaan, menejemen lainnya. Achievement Motivation Training (AMT) yang diciptakan oleh David McClelland adalah contoh terbaik pendekatan liberal. McClelland berpendapat bahwa akar masalah

 

keterbelakangan dunia ketiga karena mereka tidak memiliki apa yang dinamakannya N Ach. Oleh karena sarat pembangunan bagi rakyat dunia ketiga adalah perlu virus “N ach” yang membuat individu agresif dan rasional. Berbagai pelatihan pengembangan masyarakat (Community Development) seperti usaha bersama, pertanian dan lain sebagainya, umumnya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.

 

Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode determinasi, ‘fixed law’ atau kumpulan hukum teori. Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tungal dianggap ‘appropriate’ untuk semua fenomena. Oleh karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan metode ilmiah yakni obyektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang

 

 

 

 

26


 

bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode “scientific”.

 

Dengan kata lain, positivisme mensaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial. Habermas, seorang penganut teori Kritik melakukan kritik terjadap positivisme dengan menjelaskan berbagai katagori pengetahuan sebagai berikut. Pertama, adalah apa yang disebutnya sebagai ‘instrumental knowledge’ atau positivisme dimana tujuan pengetahuan adalah untuk mengontrol, memprediksi, memanipulasi dan eksploitasi terhadap obyeknya. Kedua, ‘hermeneutic knowledge‘ atau interpretative knowledge, dimana tugas ilmu pengetahuan hanyalah untuk memahami. Ketiga adalah ‘critical knowledge’ atau ‘emancipatory knowledge’ yakni suatu pendekatan yang dengan kedua pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini menempatkan ilmu pengetahuan sebagai katalys untuk membebaskan potensi manusia. Paradigma pendidikan liberal pada dasarnya sangatlah positivistik. Kita semua tahu ada yang salah dengan dunia pendidikan Indonesia, hanya saja kita kurang cermat dalam mengamati sehingga cenderung menyalahkan komponen di dalam pendidikan itu sendiri, seperti kurikulum yang memberatkan, guru kurang profesional, murid kurang berkarakter dsb. Iya klaim atas kesalahan itu memang benar adanya, namun perlu dicermati hal yang disebutkan diatas adalah komponen nomor sekian di dalam pendidikan, itu hanyalah sebuah efek domino dari sebuah “Grand Narrative” kesalahan yang memiliki sumber utama.

 

Pertama, yang harus di ubah adalah mindset yang cenderung menyalahkan korban (blame the victim) sehingga kita melakukan pengamatan yang lebih dalam tentang sebuah kesalahan yang terjadi, mengkaitkan faktor-struktur yang bisa menyebabkan itu terjadi. Kedua, konsep pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan konteks sosial, ekonomi, politik budaya dan lainnya (kompleks). Semisal sebuah kecelakaan truk akibat rem blong dan sopir mengantuk. Mari kita gunakan mindset non-blame the victim, memang terjadi sebuah human error pada sopir, terjadi kesalahan teknis pada mekanisme pengereman namun bagaimana bisa rem tidak berfungsi? Bukankah selalu ada

 

27


 

pengecekan sebelum keberangkatan truk, kita bisa berasumsi bahwa pengecekan tidak dilakukan dengan benar atau bahkan mungkin karena proses pengecekan keberangkatan cenderung berbelit-belit maka ada oknum yang bermain di dalamnya, bukankah oknum tersebut juga bisa mengakibatkan kecelakaan truk, sudah menjadi rahasia umum bahwa oknum bermain pada hal tersebut, berarti pengawasan pemerintah kurang terhadap lembaga yang bertanggung jawab atas kelayakan jalan sebuah kendaraan seperti KIR-DLLAJR. Sehingga kita mendapat kesimpulan bahwa kecelakaan truk bukan semata-mata kesalahan sopir ataupun takdir kecelakaan, hal tersebut terjadi akibat akumulasi kesalahan (efek domino) dari sebuah pangkal kesalahan yang berujung pada kecelakaan. Seorang intelektual tak pantas berpikiran magis dengan mengatakan itu takdir, harus mampu mencermati.

 

Mari kita gunakan mindset non-blame the victim dan kompleksitas dalam melihat carut marutnya pendidikan dengan salah satu permasalahan, yaitu Perguruan Tinggi sebagai pabrik sub-unit produksi tenaga kerja, benarkah itu?

 

Di dalam ekonomi, kita tahu betul hubungan produsen-konsumen, produsen selalu menjual barang yang diminati oleh konsumen, produsen selalu menganalisis apa yang menjadi kebutuhan konsumen atau menciptakan kebutuhan konsumen. Dari perspektif ekonomistik mari kita lihat apa hubungannya dengan pendidikan, bagaimana jika logika produsen-konsumen diterapkan di dalam pendidikan. Tidak mungkin sebuah produsen akan memproduksi barang yang nilai jualnya rendah di mata konsumen, Pendidikan sebagai produsen mendesain kurikulum dan semua komponennya agar nanti ketika menjadi output bisa match dengan apa yang dibutuhkan oleh konsumen, dalam hal ini konsumen adalah lembaga/perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja dengan spesifikasi tertentu (bidang keilmuan tertentu). Realita berbicara, bahwa kita setelah lulus kuliah pasti akan dibutuhkan oleh instansi/lembaga tertentu, di dalam perkuliahan kita di bagi menjadi bidang keilmuan tertentu agar nanti bisa ditempatkan pada suatu profesi, logika link and match inilah yang jelas terbaca dalam pendidikan kita.

 

28


 

Maka ini menjelaskan keadaan yang kita hadapi, sekarang jelas sudah kenapa orang tua kita selalu bertanya, “kalo kamu sekolah/kuliah jurusan itu kerjanya dimana?”. Dari perspektif ekonomi kita bisa mengamati bahwa Pendidikan bukan lagi Pendidikan.

 

Dari perspektif Politik, mari kita cermati bahwa penguasa (elit politikpemerintah-birokrat) memang memiliki kepentingan mengarahkan pendidikan kita ke arah ekonomistik. Lihatlah lembaga pendidikan sekarang harus berstandar ISO dan sebagainya layaknya sebuah perusahaan dangan alih-alih otonomi kampus dan kebebasan akademik. Pergulatan yang terjadi adalah pertarungan ideologi kita (Pancasila) dengan globalisasi-liberalisasi. Kampus dipaksa agar memiliki otonomi, agar pemerintah tidak bisa intervensi sehingga arus investasi bergerak bebas diperjual-belikan. Disini terjadi kekalahan telak pada pertarungan ideologi, landasan falsafah kita, Pancasila menghendaki agar pendidikan harus mencerdaskan kehidupan bangsa namun yang hari ini terjadi adalah eksploitasi dunia pendidikan untuk kepentingan ekonomi. Para penguasa bukan lagi berpegang teguh pada Pancasila, namun malah mengkhianati perjuangan para pendiri bangsa ini lewat argumentasi-rasionalisasi yang seakan-akan membela bangsa ini, di sinilah awal dari “Grand Narrative” itu bermula. Sebuah Negara harus berdaulat terlebih dahulu lewat ekonomi dan politik, karena ekonomi merupakan basis yang menentukan suprastruktur (penguasa). Negara yang ekonominya kuat adalah penguasa atas negara-negara lain. Orang yang ekonominya kuat adalah penguasa atas negerinya.

 

Lewat 2 perspektif ini saja kita bisa membongkar realita yang sedang terjadi, apa yang sebenarnya terjadi dibalik realita ini. Kita sebagai calon pendidik/tenaga kependidikan ternyata direduksi dengan hanya menjadi tenaga kerja yang dibutuhkan oleh konsumen. Katakan saja jika kita adalah orang yang brillian dalam memikirkan hal ini, namun ketika keluar nanti tetap saja terkekang oleh sistem yang telah dibuat sedemikian rupa agar kita tetap tertidur lelap, memadamkan semua asa kita. Sebagai intelektual yang masih muda, pemuda, kita harus selalu berkobar-kobar melakukan perlawanan pada

 

 

29


 

ketidakadilan. Seorang intelektual haruslah adil sejak dalam berpikir, apalagi dalam perbuatan. Artinya kita harus melakukan keberpihakan pada yang lemah, menguatkan yang lemah , yang minoritas, agar tidak diperkosa oleh realita. Mengapa? Karena inilah citacita bangsa kita yang telah digali oleh para pendiri bangsa ini, yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita sebagai kaum intelektual haruslah bergerak sebagai organik, gerakan pemikiran yang merubah dan mempersiapkan tatanan sosial, menyadarkan kepada sesama bahwa kita tertindas, bukan tertindas fisik, tapi pikiran. Sesungguhnya menjajah pemikiran itu lebih sadis daripada penjajahan fisik, karena menipu kesadaran dan membentuk kesadaran palsu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

30


 

BAB III

 

PENUTUP

 

 

 

Segala konsep pemikiran manusia lahir dari situasi kontekstual yang di anggap keluar dari idealisnya. Begitu juga dengan lahirnya konsep marxisme yang di ambil dari ide pemikiran Karl Marx yang muncul karena arogansi knsep kapitalis yang merugikan kaum miskin atau proletariat.

 

Karl marx berusaha merumuskan suatu konsep pemerintahan dan sistem ekonmi yang baik dan berpihak keada kaum iskin karena rakyat merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam konsep demokratis yang mejadi landasan fikir filsuf pada masa itu. Akan tetapi dalam realitanya hal tersebut dilupakan oleh konseptor kapitalis yaitu Weber. Sebelum Marx, Hegel juga sudah mengkritisi sistem ini namun cuma dalam teori idealis yang mana menurut Marx hal ini kurang bermaka karena hanya berkutat pada dunia ide. Oleh sebab itu Marx melakukan kritik terhadap teori-teori Hegel, dengan metode materialis dialektisnya Marx menulis sebuah karya besar yang di sebut dengan manifesto communist sebagai bentuk nyata solusi terhadap arogansi kapitalis.

 

Dari konteks ekonomi marx yang memang menentang hegemonitas terus mengkoreksi kapitalis dan melahirkan sebuah karya yang disebut das kapitalis. Marx menyatakan bahwa kaum elit sangat di untungkan dengan konsep ini sehingga perlu sebuah revolusi pemikiran untuk melawan hegemoni elitis.

 

Kefilsafatan Marx tidak perlu di ragukan lagi karena dari buah

 

pemikiranya sangat bermanfaat terhadap perkembangan kehidupan manusia masa kini. Sehingga kita tidaklah bijak jika menghakimi marxisme merupakan ajaran yang terlarang dak sesat karena pada dasarnya pendapat manusia itu tidak ada yang salah karena kebenaran sendiri sifatnya relatif kontekstual.

 

Tujuan Pendidikan menurut Freire adalah membebaskan manusia dari kondisi-kondisi penindasan yang telah membawa kehidupan manusia pada sikap “tidak manusiawi”, baik itu korban penindasan maupun pelaku

 

 

31


 

penindasan. Freire menganggap bahwa situasi penindasan bukanlah keharusan sejarah, tetapi lebih karena diciptakan, maka pendidikan berfungsi untuk merubah itu semua.

 

Dalam melawan segala situasi penindasan ini, terlebih dahulu manusia haruslah memiliki kesadaran bahwa telah terjadi penindasan dan memiliki perasaan bahwa ia mampu untuk merubah itu semua.

 

Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi kesadaran magis

 

(magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness)

 

Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan. Kesadaran naïf, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.

 

Untuk membangun kesadaran ini, metode pendidikan tidak bisa dilakukan secara searah, harus dilakukan secara dua arah, di mana guru dan murid harus berada dalam kondisi sejajar agar murid tidak berperan sebagai obyek yang hanya berperan sebagai wadah yang harus diisi oleh ilmu pengetahuan yang hanya berasal dari sang guru (pendidikan gaya bank”, tetapi guru dan murid harus bisa berperan ganda (guru bisa menjadi murid, murid pun bisa menjadi guru), karena dalam menghadapi permasalahan sehari-hari pengalaman setiap orang berbedabeda dan berbeda pula cara mengatasi permasalahan yang dihadapi sehingga tidak ada orang yang lebih pandai dari orang lain begitu juga sebaliknya.

 

 

32



 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Boothman, D. 2008.`` Hegemony: Political and Linguistic Sources for Gramsci’s Concept of Hegemony’’. In R. Howson and K. Smith (Eds.),

 

Hegemony: Studies      in  Consensus  and                                              Coercion. London:

 

Routledge.

 

Clark, M. 1977. Antonio Gramsci and the Revolution that Failed. New Haven:

 

Yale University Press.

 

Foucault,M. 1980. The Archeology of Knowledge and the Discourse of Language.

 

New York:Pantheon.

 

Freire,Paulo.1986. Pedagogy of The Oppressed. New York:Praeger.

 

Freire, Paulo. 2004. Politik Pendidikan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Giddens, Anthony. 2003. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak

 

Kehidupan Kita, Jakarta: Gramedia.

 

Giddens, Anthony, 2011. Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Bantul:

 

Kreasi

 

Wacana.

 

Gramsci, A. 1926. ``Some aspects of the southern question’’ (V. Cox, Trans.). In

 

R.        Bellamby (Ed.), Pre-Prison Writings (pp. 313-337). Cambridge:

 

Cambridge University Press.

 

Gramsci, A. 1971. Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci, Q. Hoare & G. N. Smith, eds. & trans. London: Lawrence and Wishart.

 

Mansour Fakih. 2001. Pendidikan Populer Membangun Kesadaran Kritis.

 

 

33


 

Yogyakarta: Read Book.

 

Nuryatno, M. Agus. 2011. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book

 

O’neil, William.2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

 

Suseno, Franz.2010. Pemikiran Karl Marx. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

 

Smith, William A. 2001. Conscientizacao, Tujuan Pendidikan Paulo Freire, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Takwin, Bagus. 2009. Akar-Akar Ideologi.Yogyakarta: Jalasutra.

 

No comments:

Post a Comment

Bottom Ad [Post Page]

JANGAN-KLIK