Selentingan
kabar tentang kaum intelegensi yang mati kutu tak asing lagi dalam
telinga. Entah memandang dari sebelah mana, hingga pernyataan itu
terurai dan menjadi rahasia umum. Siapakah kaum intelegensi itu? Dalam
pandangan saya, mungkin yang dimaksud kaum intelegensi disini adalah
para pemuda, lebih dispesipisikan lagi adalah mahasiswa. Kenapa
mahasiswa? Karena, porsi keilmiahan mahasiswa dibangun besar-besaran di
ruang akademisi.
Tehnik
belajar dan mengajar ketika di SD, SMP, SMA dan sederajat sangatlah
berbeda dibandingkan dengan ketika menginjak bangku universitas.
Mahasiswa banyak mencari sendiri apa yang ia ingin pelajari, tanpa harus
menunggu perintah dari guru atau dosen. Saya pernah mendengar sebuah
ucapan, “guru yang sesungguhnya adalah pikiran kita sendiri.” Manusia
pada hakikatnya tak perlu menginjak bangku sekolah untuk mencerdaskan
pribadinya. Contoh yang tidak asing, mari kita perhatikan orang tua kita
yang subtansinya adalah seorang petani, pegawai bangunan, nelayan.
Berapa banyak mereka yang lulus SD, berapa banyak dari mereka yang
melanjutkan ke SMP bahkan ke SMA, sedikit sekali. Namun, betapa hebat
mereka…!. mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga melewati masa
SMP, hingga anaknya mampu memetik pelajaran di bangku perkuliah.
Lalu
dari mana mereka bisa mendapatkan uang untuk menyekolahkan anaknya?.
Berpikir. Keyakinan itu yang sampai saat ini terus menggelayuti dalam
benak saya, mereka terus berpikir, berpikir, dan berpikir bagaimana
caranya menghasilkan.
Para
petani, nelayan, bangunan, pedagang, mereka berpikir memahami alam. Jika
ia adalah seorang petani, maka guru yang sesungguhnya adalah tanah dan
alam. Maksudnya jika dia adalah seorang petani Terong, maka guru yang
sesungguhnya adalah Terong. “Terong itu ada beberapa jenis, kalau
jenisnya anu bagusnya ditanam ditanah yang anu, dimusim anu, hamanya
anu, dan rasanyapun anu, pun masih banyak anu-anu lainnya” Ujar petani
yang perna saya temui di Cikubang tempo lalu. Coba perhatikan nelayan,
dia dapat memahami ombak dan angin, sedikit saja ia salah menapsirkan
cuaca maka kematian mengintainya. Bukankah pelajaran tersebut hanya
diajarkan dalam bidang ilmu fisika ketika kita mencapai tingkat SMA,
itupun hanya sepintas (dasar), dan an baru dipelajari seutuhnya ketika
masuk unversitas itupun dalam bentuk tori bukan aplikasi.
Andai kita berada dalam posisi yang tanggung (sebagai pelajar dalam pendidikan formal), siapapaun kita
harus
mencipta. Mencipta tentu diawali dengan berpikir. Tidak ada istilah
kebetulan, Karena Tuhan telah menentukan porsi setiap insan, dan porsi
yang ditentukan oleh Tuhan bisa diubah semau kita. Jika kita mau
berpikir dan mencipta.
Saatnya kita berperan sebagai director of change. Direcotor of change
bearti melakukan perubahan pada lingkungannya, dan menjaga ke
stabilannya agar tidak berefek krusial dan hancurnya konsep yang diusung
ketika mengujakan perubahan itu. Implementasi yang jelas ditetapkan dan
dipetakan sebelumnya harus diiringi dengan stabilnya pergerakan demi
kesejahteraan si empunya perbuhan dan objek dari perubahan itu sendiri
(Masyarakat).
Seperti
halnya petani organik. Disetiap musim, mereka terus berorientasi untuk
mendapatkan hasil yang lebih banyak dari pendapatan sebelumnya. Tidak
hanya itu, ia tetap menjaga kestabilan tanah agar tidak terjadi
kerusakan dalam struktur tanah, tidak pula mengahancurkan rantai makanan
dildang tempat ia bertani. Petani organik sangat menghindari penggunaan
pupuk kimia dan penggunaan pestisida untuk membunuh hama. Bahasa yang
digunakan petani organik bukan membunuh atau membasmi hama, tapi
mengendalikan hama. Hingga sang tikus atau sang serangga tidak mati
bahkan punah. Pada akhirnya ekosistem tetap berlangsung tapi tidak
merugikan petani dan mahluk lainnya. Inilah yang dinamakan dengan
simbiosismutualisme.
Patutlah
kita mengamati setiap kejadian disekeliling kita, sedetail mungkin. Dan
jadikan semua itu sebagi guru, guru yang sesungguhnya. Guru yang
beorintasi pada peradaban yang lebih baik dan mapan. Bertujuan satu,
yaitu menciptakan kaum intelejensi yang peduli, menciptakan sesuatu,
berpikir dan mencipta yang baru.
Andai
kata kita tetep diam, maka kita telah melunturkan semangat kemanusiaan
yang sejatinya terus berpikir dan menciptakan perbaikan.
Harapan
dan peluang akan selalu ada. Seperti rumput atau jamur yang selalu
menempel dimanapun; ditanah, ditembok, dimanapun selagi ada kesempatan.
Berpikir stagnan bukanlah pilihan, melainkan sebuah keterpurukan.
Kembali pada orang tua kita yang hanya mengenyam pendidikan hingga
bangku SD dan untung-untung SMP, ia mampu menyelohkan anaknya hingga
unversitas. Simpulnya mereka telah berhasil melakukan mobilitas sosial
secara vertikal naik. Meningkatnya starata sosial, sebuah contoh realita
berpikir dinamis. Sumbernya adalah keyakinan, dan keyakinan bisa
dibangun kapan saja dan dimana saja. Seperti halnya jamur.
Masa
kini dan akan datang tentu akan berbeda. Seperti jaman yang kita rasakan
sekarang, sangatlah berbeda dengan dahulu kala. Jika kaum intelegensi
dahulu berjuang demi perbaikan yang kita rasakan sekarang, maka tugas
kita segabai kaum intelegensi saat ini adalah melakukan perubahan pada
arah yang lebih baik untuk saat ini dan yang akan datang. Seperti para
petani organik yang selalu didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan. Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan kelestarian
dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi, dan manusia
sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling berhubungan
dan tidak terpisahkan.
No comments:
Post a Comment