(Seindah Bahasa yang Diotak-atik Dalam Taktik Politik)
Doc. Irpan Ilmi |
Adakalanya mata kita tertuju pada sebuah tulisan yang tertera di dinding-dinding tembok perkotaan, atau tulisan pada sebuah banner Parpol yang diusung menjadi calon legislatif, atau bahkan tulisan pada kaos-kaos anak muda yang mempunyai ide-ide nyelentik.
Saya teringat slogan yang dilontar Thoriq Bin Ziyad ketika menaklukkan Andalusia yang sekarang bernama Spanyol. Ia berdiri diatas batu sambil berorasi, “Hidup Mulia Atau Mati Syahid!”. Betapa kata-kata itu mampu membakar semangat para prajurit dan mengantarkan pada kemenangan dalam pertempuran. Bahasa pengobaran semangat itu hampir sama diteriakkan dari Jerman oleh Adolf Hitler dengan bahasa, “Bagi perjuangan kita, hanya ada dua jalan, Musuh yang melewati bangkai kita atau kita yang melewati bangkai musuh!”
Layaknya para penguasa, selalu lihai dalam memainkan taktik politik, jilat atas jilat bawah, sikut kiri sikut kanan. Dalam pandangan saya itu sangat wajar, karena ia mempunyai kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Transparansi bahasa jargon dan kekuasaan adalah syarat untuk mendapatkan kekuatan dari masyarakat.
Pada masa post-strukturalis, Jean Baudrillard (dalam Latif dan Ibrahim, 1996) menegaskan bahwa, “The real monopoly is never that of technical means, but that of speech”. Demikian pula post-struturalis membuka ranah bahasa dari segi fungsi “language in use”. Dalam hal ini kita harus membuka fungsi bahasa yang seluas-luasnya; mengungkapkan nilai seni bahasa dalam ranah politik, mengungkapkan kebenaran, meyakinkan tentunyadengan alasan-alasan yang implisit, sebagai tombak dalam pewartaan kebijkan perpolitikan, selalu menyatu dengan wacana sosial, menciptakan komunikasi yang harmonis antara penguasa dan masyarakat namun tidak mengurangi fungsi sebagai transparansi kebijakan baik dari penguasa dan dari masyarakat itu sendiri.
Pembahasan lebih lanjut adalah tentang fungsionalisme bahasa dalam politik. Tentu kita harus membaca subbab dari apa yang kita kaji baik budaya, agama, pendidikan, ekonomi, komunitas, regional, nasional bahkan internasional. Karena dalam hal ini bahasa telah masuk dalam kawasan multikultralisme.
Siapa yang tidak tahu Apel Malang dan Apel Washington, Semangka, dan pelumas ditambah lagi ketua besar. Apel Malang, Apel Washington, dan Semangka memiliki rasa yang manis, mengandung banyak vitamin, bentuk dan rupa yang memikat mata ketika kita memandang buah itu dijual dipasaran, hingga kita ingin segera untuk membelinya dan segera melahapnya.
Namun apabila kita bermaksud menggunakan metafor dalam bahasa Apel Malang dan Apel Washington, Semangka dan pelumas serta ketua besar, tentu persepsi kita langsung terarah pada orang-orang yang terikat dalam kasus Hambalang yaitu Angelina Sondakh, Mindo Rosalina Manulang, Muhammad Nazaruddin, dan bahkan melibatkan Andi Malarangeng, serta Anas Urabningrum. Apa yang dimaksud dari bahasa di atas menurut Rosa adalah “apel malang” berarti “uang rupiah”, “apel washington” berarti “dollar AS”, “pelumas” berarti “uang”, demikian juga dengan arti “semangka” yang menunjukkan “permintaan dana”. Disamping itu kita tahu setiap lontaran kata dari Nazaruddin disebut dengan “Kicauan Nazaruddin”, dan muncul bahasa baru setelah Anas Urbaningrum terpaut KPK, dalam pidatonya “ini merupakan halaman pertama dari sebuah buku.”
Kiranya penting bagi kita untuk melakukan tindak discourse analysis (Analisis Wacana) dalam setiap teks, konteks, dan wacana yang beredar di sekitar kita. Kognisi sosial tidak lepas dari wacana yang beredar dimasyarakat, karena bahasa merupakan relasi kekuasaan dan alat untuk beroperasi kekuasaan itu sendiri. Dengan demikian jika kita kaitkan pada kasus Wisma Atlet, simpatisan Nazarudin semakin bertambah karena kicauan Nazaruddin terbukti dengan tersangkutnya Anas Urbaningrum, dan terpautnya nama Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dalam halaman pertama dari sebuah buku ala Anas Urbaningrum.
Bahasa adalah kekuasan, semakin lihai seseorang maka bisa dikatakan social market orang itu sangat apik. Nampak pada era pemilihan presiden di tahun 2009, pernah keluar jargon-jargon yang diusung setiap partai. Setelah diawal kita mengetahui metafor dan memesis dalam perpolitikan. Maka dalam bahasa jargon ada 3 jenis:
1. Bahasa Filantropis. Adalah bahasa yang mengandung muatan cinta, kasih sayang, dan welas asih. Seperti “Menebar Bakti, Membangun Negeri”.
2. Maskulinis. Adalah bahasa Jargon yang ”meledak-ledak,” agressive, dan cenderung revolusionaris. Seperti “Bersih, Peduli, Profesional”, “We’ll Return On 2009, Perjuangan Tiada Akhir!”.
3. Dan Direktif. Adalah Jargon yang memiliki tendensi untuk mengajak khalayak ramai untuk melakukan sesuatu. Seperti “Bersatu Membangun Negeri”.
Panggabean (1981:VII) menyebutkan bahwa tokoh-tokoh politik mempergunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan pendapatnya melainkan juga untuk menyembunyikannya. Seindah bahasa diotak-atik dalam taktik politik, maka pemahaman kita harus dapat mengkaji apa yang dimaksud dari sebuah wacana perpolitikan dan ideologis kekuasaan yang berlaku di daerah kita atau dinegara kita. Selebihnya kita melihat track record dari orang-orang yang melontarkan bahasa itu sendiri.
No comments:
Post a Comment